Cerita  

RENGIT: 7 PERGI 6 KEMBALI

Avatar photo

Hujan deras. Petir membelah langit. Ombak menggila di dermaga kayu yang reyot.

Seorang anak laki-laki berdiri kaku di tepi perahu, tubuh kecilnya bergetar, bukan karena dingin—tapi karena firasat. Ayahnya, berseragam polisi hutan, menyuruhnya menunggu. Tapi ia tak pernah pandai menunggu.

Ia mengikuti suara. Langkah-langkah kecil di hutan rimba yang basah. Pepohonan menjulang seperti penjaga kubur. Suara burung mati. Daun-daun berbisik nama yang tak ia kenal.

Lalu ia melihatnya.

Gubuk tua. Tertutup lumut. Pintu terbuka. Bau amis. Seperti besi. Seperti darah.

Di dalam, ibunya tergeletak. Tak bergerak. Mata terbuka. Tangan menutupi anak perempuannya yang lebih kecil—keduanya diam. Selamanya.

Ayahnya bertarung. Napas tersengal. Melawan… sesuatu.

Pria bertopeng. Topeng kayu hitam. Mata merah di balik lubang sempit. Gerakannya seperti bayangan. Senyap. Mematikan.

Anak itu menahan napas. Di balik semak. Menyaksikan. Tak bisa bersuara.

Topeng itu menatap ke arahnya. Lama. Mata itu… seolah menembus jantungnya.

Lalu si topeng menghilang ke dalam gelap.

Ia tak pernah bicara tentang malam itu. Tapi sejak malam itu, dunia baginya berubah. Hutan bukan lagi tempat perlindungan. Pulau bukan lagi tanah. Itu kuburan.

Dan ia… adalah satu-satunya yang masih hidup.

*****

“Pulau Rengit,” ujar Anton, suaranya tajam membelah keheningan seperti pisau di atas kulit malam. “Tempat sempurna—terkutuk, sunyi, dipenuhi legenda kelam. Film horor kita akan jadi legenda.”

Iman menyipitkan mata, keningnya berkerut. “Terkutuk? Legenda? Kau yakin ini bukan ide gila, Ton?”

Anton menyeringai, matanya berkilat seperti pantulan cahaya di genangan darah. “Ide gila justru yang membuat penonton ketakutan.

Bayangkan—hutan lebat yang tak pernah tersentuh, reruntuhan yang membusuk pelan, bisikan di tengah malam… mereka akan menjerit di kursi bioskop.”

Raka mengangguk pelan, suaranya nyaris seperti gumaman. “Suara angin di pulau itu… terdengar seperti orang menangis.”

Anggi dan Intan saling menatap. Pucat, nyaris seperti mayat yang baru terbangun.

“Aku tidak suka ini,” bisik Intan, nadanya goyah. “Sejak awal, pulau itu terasa… salah.”

“Takut hantu?” Anton mendengus, matanya mengejek. “Kita bukan anak-anak. Ini hanya tempat kosong dengan cerita-cerita bodoh yang dibuat warga kampung.”

Tiba-tiba, pintu kafe berderit terbuka, seolah enggan mengizinkan yang datang masuk.

Rahman melangkah masuk perlahan. Wajahnya datar, tapi matanya—mata itu menyimpan sesuatu. Bukan hanya kesedihan, tapi luka lama yang belum sembuh.

“Maaf terlambat,” katanya lirih. “Tadi ada pengajian… untuk tujuh hari kematian Pak Gino.”

Meja kembali tenggelam dalam sunyi. Tapi kali ini, sunyi yang berat—seperti ada sesuatu yang duduk bersama mereka, tak terlihat, tapi hadir.

Rahman berdiri di ujung meja, tatapannya kosong menatap ke kejauhan. Lalu dia berkata:

“Pulau Rengit…” ia mengulang, perlahan. “Kalian yakin ingin ke sana?”

Anton tertawa pendek. Kering. Tanpa rasa. “Tentu. Ini peluang emas.”

Rahman hanya menggeleng, lambat, seolah bicara dengan orang yang sudah ditakdirkan celaka.

“Pulau itu tidak menunggu kita dengan tangan terbuka…” bisiknya. “Pulau itu… lapar.”

“Cukup, Rahman,” potong Anton, tak sabar. “Jangan buat semuanya paranoid.”

Baim, yang sejak tadi membisu, akhirnya bersuara. Tapi nadanya berbeda—seperti orang yang sudah menerima akhir.

“Kita berangkat… besok pagi.”

*****

“Kita bermalam di sini,” ucap Anton, berusaha terdengar mantap, tapi getar samar di suaranya tak bisa disembunyikan. “Besok pagi kita ke Rengit.”

“Kenapa tidak langsung saja malam ini?” tanya Intan, nyaris berbisik. Suaranya seperti bayang-bayang yang enggan bangkit dari tanah.

Sebelum Anton menjawab, Rahman angkat bicara, nadanya berat. “Malam ini… bukan waktu yang tepat.” Tatapannya menusuk ke arah Anton. “Ada baiknya kita tahu lebih banyak tentang pulau itu… sebelum terlambat.”

Semua mata kini tertuju pada Rahman, kecuali suara angin yang menggoyang jendela kayu, seolah ikut mendengar.

“Tahu apa lagi?” dengus Anton, berusaha terdengar sinis, tapi nada marahnya terdengar lebih seperti upaya mengusir rasa takut. “Itu cuma pulau kosong.”

“Tidak, Ton,” gumam Iman, nyaris tak terdengar. “Ada sesuatu yang… salah dengan tempat itu.”

Rahman menoleh pelan ke sudut ruangan, tempat seorang pria berjubah putih duduk diam bagai patung batu. “Ustaz Baihaki bisa menjelaskan.”

Ustaz Baihaki membuka matanya, tenang namun berat, seolah menyaksikan hal-hal yang tak bisa dijelaskan manusia.

“Pulau Rengit…” ucapnya lirih, suaranya seperti datang dari masa silam. “Tempat itu diselimuti oleh kekuatan yang tidak berasal dari dunia ini. Legenda mengatakan… di sana, makhluk-makhluk kegelapan bersemayam. Mereka tidak tidur. Mereka menunggu.”

“Omong kosong,” sela Anton cepat, mencoba memutus bayangan yang mulai menyusup ke pikirannya. “Kita ini syuting film, bukan mendongeng di api unggun.”

Tiba-tiba, pintu terbuka perlahan, berderit panjang seperti rintihan. Seorang nelayan tua melangkah masuk. Wajahnya penuh keriput seperti kulit kayu yang dilahap waktu, tapi matanya… tajam, dingin, dan kosong seperti laut di malam gelap.

“Jangan ke pulau itu,” suaranya serak, nyaris seperti bisikan dari dasar laut. “Jika kalian memaksa… dari tujuh yang pergi… hanya enam yang kembali.”

Ruangan langsung membeku. Anggi menjerit kecil, Intan menutup mulutnya, tubuhnya gemetar.

“Apa maksudmu?” tanya Anton, suaranya pelan, nyaris pecah. Untuk pertama kalinya… dia takut.

Nelayan itu menatap mereka satu per satu, lama—seolah sedang menghitung jiwa. Lalu tanpa sepatah kata pun, dia berbalik dan pergi… pintu menutup di belakangnya seperti akhir dari doa terlarang.

Anton mencoba tertawa. Gagal. “Itu hanya tahayul,” katanya, tapi suaranya tak lagi membawa keyakinan.

Rahman masih menatapnya, matanya tak berkedip. “Terkadang… peringatan datang dari mereka yang sudah melihat neraka. Masalahnya, kalian belum.”

*****

“Kabut ini… tidak biasa,” gumam Iman, matanya menyipit menembus tirai putih yang menggantung pekat di depan perahu. “Seolah-olah… pulau itu menolak kedatangan kita.”

“Omong kosong,” sahut Anton cepat, tapi kali ini nadanya goyah—tak sekeras biasanya. “Ini hanya… kabut biasa.”

Namun, kabut itu memang aneh. Terlalu tebal. Terlalu diam. Tidak ada angin. Tidak ada burung. Hanya putih yang menyelimuti segalanya—seperti dunia mati yang menunggu napas pertama.

Raka mengangkat tangannya tiba-tiba. “Diam…” bisiknya, wajahnya tegang. “Ada suara.”

Mereka membeku.

“Suara apa?” tanya Anggi, suaranya gemetar.

Raka menelan ludah. “Bisikan… banyak. Seperti orang berbicara… tapi tidak dengan lidah manusia.”

Anggi menjerit. Intan memeluknya erat, matanya membesar oleh teror yang tak terlihat.

“Tenang,” Rahman berkata, meski matanya menyapu sekeliling dengan gelisah. “Kita akan baik-baik saja.”

Junaidi, si pengemudi perahu, menoleh dan tersenyum—senyum yang terlalu tenang untuk situasi seperti ini.

“Jangan takut,” katanya lembut. “Pulau Rengit memang sedikit… berbeda. Tapi tidak berbahaya.”

“Berbeda bagaimana?” tanya Iman, nadanya curiga.

Junaidi menatap ke depan, ke arah kabut yang tak bergerak. “Pulau itu punya sejarah panjang. Banyak cerita aneh… tapi hanya cerita.”

Rahman menyipitkan mata. “Cerita seperti apa?”

Senyum Junaidi perlahan memudar.

“Cerita tentang kekuatan yang tidak bisa dijelaskan… tentang makhluk-makhluk yang tidak lagi milik dunia ini.”

Hening. Sunyi yang menggantung seperti tali di leher. Tak ada yang bicara. Hanya deru pelan mesin perahu dan debur ombak yang terdengar… tapi bahkan itu terasa salah—seolah laut pun menahan napas.

“Kita hampir sampai,” kata Junaidi tiba-tiba, tangannya menunjuk ke depan. Di sana, kabut tampak lebih padat, seperti dinding kapuk basah yang menelan cahaya. “Pulau Rengit… menunggu kita.”

Mata semua orang tertuju ke depan, wajah-wajah mereka diliputi ketakutan yang tak bisa mereka jelaskan.

*****

“Ini dia,” ucap Anton dengan suara yang nyaris tak terdengar. Bukan karena ingin berbisik… tapi karena takut suaranya memanggil sesuatu. “Pulau Rengit.”

Perahu menepi dengan pelan, menyentuh daratan seperti menyentuh kulit mayat yang dingin. Pulau itu berdiri diam, membisu dalam kesuraman.

Hutan lebat menyambut mereka seperti rahang terbuka, dan di balik pepohonan, bangunan tua—lapuk, ditelan lumut dan waktu—berdiri seperti makam raksasa yang dilupakan dunia.

“Aneh sekali…” Iman berbisik, kameranya gemetar saat merekam reruntuhan yang mencuat dari tanah. “Seperti kota yang mati… tapi masih mengintai.”

Mereka mulai melangkah ke dalam, tanahnya basah, lembek, seolah pernah menelan sesuatu.

“Lihat ini,” gumam Raka, tangannya menunjuk dinding batu yang nyaris runtuh. Di sana terukir simbol-simbol aneh—bentuk melingkar dengan guratan seperti cakar dan mata terbalik.

“Jangan sentuh!” perintah Rahman cepat, suaranya tajam seperti cambuk. “Kita tak tahu… apa yang bisa dibangunkan.”

Mereka menegang.

Lalu, dari semak-semak di sisi hutan…

Teriakan.

“Ada sesuatu di sana!” Anggi menjerit, menunjuk dengan tangan gemetar. Wajahnya pucat, matanya membelalak ketakutan.

Semua menoleh—dan melihatnya.

Bayangan hitam. Tinggi. Bergerak cepat di antara pepohonan. Tidak seperti manusia. Tidak seperti binatang. Ia melesat, lalu menghilang.

“Apa itu?” bisik Intan, suaranya patah-patah. Ia mundur, napasnya berat. Wajahnya tak lagi punya warna.

“Mungkin… hanya hewan liar,” ucap Junaidi dari belakang. Senyumnya masih ada. Ramah. Tapi… terlalu ramah. Tidak terganggu. Tidak heran.

Dan untuk pertama kalinya… Rahman menatap Junaidi lama. Diam.

Angin mulai berhembus. Pelan. Tapi membawa bau. Bau besi. Bau tanah basah. Bau yang hanya muncul di satu tempat—

Pemakaman.

*****

Langit menghitam seperti noda tinta di kertas basah. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Hanya gelap. Gelap yang terasa hidup. Menggantung di udara. Membebani napas.

Pepohonan menjulang bagai penjaga purba. Ranting-rantingnya seperti jari-jari raksasa yang menunggu menyentuh mangsa. Di sela akar-akar yang menjalar, lumut berpendar redup—hijau mati, seperti mata yang mengintip dari kegelapan.

Angin meliuk di antara batang pohon. Tidak sekadar berdesir—ia mendesing. Membawa suara. Bisikan nama-nama asing. Bahasa yang tak dikenal. Tapi terasa… seolah memanggil.

Udara penuh uap. Lembap. Berat. Dan berbau.

Tanah, garam… dan darah. Campuran amis yang menusuk indera, mengusik naluri purba: rasa takut.

Iman terpisah. Sendirian.

Kamera di tangannya merekam acak. Penuh getaran. Lampu kecil di atasnya berkedip, seolah ikut panik.

“Kemana mereka?” gumam Iman. Ia membuka resleting celana, berniat buang air kecil.

“Sebentar pipis saja, ditinggal,” gerutunya pelan. Tapi suaranya gemetar. Matanya tak tenang.

Tiba-tiba…

Desahan.

Bisikan.

Tawa…?

Iman membeku. Suaranya tercekat.

Bayangan bergerak di sudut pandang kamera. Hitam. Tinggi. Berjalan tanpa suara. Kamera menoleh cepat. Tidak ada apa-apa. Tapi desahan masih ada. Lebih dekat.

Iman lari. Nafas memburu. Kamera bergoyang liar.

Akar pohon. Licin. Terlilit. Tak terlihat.

Kakinya tersandung.

Jatuh.

Tubuhnya menghantam tanah basah. Kamera terpental. Lensa retak.

Craaaak!

Cabang pohon tajam—tombak alam—menusuk dahi Iman. Tepat di tengah.

“ARGH!” jeritnya meledak… lalu tercekik.

Mata Iman terbuka lebar. Kaget. Tak percaya. Penuh teror. Darah hangat mengalir, mengisi rongga mata. Nafasnya satu. Dua. Habis.

Tubuhnya kejang. Diam. Mati.

Kamera merekam beberapa detik terakhir—tanah, akar, kabut yang berputar pelan… seolah hutan sedang menghisap nyawa.

Lalu gelap.

Jauh di dalam hutan…

Teriakan Iman yang patah masih terdengar samar. Disusul suara lain—serak. Parau. Tertawa. Atau menangis. Sulit dibedakan. Seperti suara manusia yang dilipat berkali-kali.

Anton berhenti berjalan.

Rahman menoleh perlahan.

Anggi menggigil.

Intan mulai menangis tanpa suara.

“Suara apa itu?” bisik Anggi.

Tak ada yang menjawab.

“Iman…” gumam Rahman. Kosong. Pelan.

Seperti menyebut nama orang yang sudah tiada.

“Kita harus mencarinya,” kata Anton. Suaranya keras—tapi palsu. Ia tahu itu.

Tapi sebelum langkah mereka bisa dimulai… suara-suara itu kembali.

Bukan cuma satu.

Banyak.

Terdengar seperti hutan sedang tertawa.

Tertawa dan… menyambut.

*****

Sunyi. Seolah suara enggan singgah.

Dinding-dinding batu menjulang, retak, ditelan waktu. Lumut tebal menyelimuti permukaannya, lembap dan licin seperti daging busuk yang membungkus tulang.

Di setiap dinding…

Simbol.

Terukir dalam lekukan tajam. Melingkar, membelit, membentuk mata yang tak tertutup dan rahang yang ternganga.

Dan dari dalam simbol itu…

Cahaya. Redup. Sakit dilihat. Seolah ada sesuatu di baliknya—menatap kembali.

Raka sendirian.

Alat perekam di tangannya menyala, lampunya berkedip cepat—menangkap frekuensi yang tidak bisa didengar manusia biasa. Tapi Raka mendengarnya.

Suara.

Bukan satu. Banyak.

Berbisik. Menyanyi. Memanggil.

Seolah reruntuhan itu… berbicara langsung ke telinganya.

“Suara apa ini?” gumamnya.

Langkahnya pelan.

Ia susuri lorong runtuh yang dipeluk bayangan.

Matanya menangkap satu simbol yang paling terang. Pusat dari semuanya. Ukiran dalam bentuk lingkaran ganda, dengan garis patah yang menusuk ke arah tengah—mirip matahari dengan jarum.

Ia terpesona.

Tak bisa menjauh.

Tak bisa berpaling.

Tiba-tiba…

BUK!

Angin berhembus kencang. Raka terpental ke belakang, tapi… tidak jatuh.

Ia melayang.

Tubuhnya naik perlahan. Seolah tali tak kasat mata menjeratnya dari bawah dan menarik ke langit reruntuhan.

Mata Raka melebar.

Mulutnya terbuka.

“Apa-apaan ini…?” bisiknya.

Tapi tak ada suara keluar.

Tak ada yang terdengar selain suara-suara… yang kini menjadi raungan.

Alat perekam jatuh.

“TRAK!”

Suara nyaring. Lalu… rekaman terus berjalan.

Raka tergantung di pohon mati di tengah reruntuhan.

Tangan terkulai.

Mulut masih terbuka.

Mata hitam seluruhnya—isi jiwanya terkuras.

Jauh di luar reruntuhan…

Suara itu meledak.

Tidak manusiawi.

Teriakan. Tapi juga… tawa.

Anton berhenti mendadak.

Anggi memegang lengan Rahman. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetar.

“Raka?” bisik Anggi. Tapi ia tahu… itu bukan lagi suara Raka.

“Sial,” kata Anton. Wajahnya menegang. Matanya liar.

“Kita harus pergi,” ujar Rahman, pelan tapi tegas. Suaranya terdengar retak.

“Sekarang juga.”

*****

Malam semakin pekat. Keheningan mencekam. Hanya suara angin yang berdesir di antara reruntuhan dan pepohonan.

Sumur itu berdiri di sana, tua, menakutkan. Dindingnya tertutup lumut tebal, licin, berwarna hijau gelap. Setiap inci batu seakan menyerap cahaya, memantulkan bayangan aneh yang bergerak seiring hembusan angin.

Di dalamnya… air hitam. Tak jelas kedalamannya. Seperti abadi.

Intan berdiri di tepi sumur. Mata bersinar ketakutan. Tubuhnya gemetar, langkahnya tidak pasti.

Di belakangnya, teman-temannya berdiri terpisah, saling memandang dengan wajah penuh kecemasan.

“A-aku… tidak tahu kenapa aku di sini.” Suaranya terputus-putus. Intan melangkah mundur, kaki-kaki kecilnya terhuyung. Mata yang kosong, pandangannya kosong, tapi seolah ada suara yang mengajak dia lebih dekat ke tepi sumur.

Lalu…

Pelecehan tanah.

Kaki terpeleset.

“Ah!”

Jatuh.

Ke dalam. Ke dalam kegelapan.

Air hitam menyambutnya. Dingin yang menembus tulang. Tenggelam dalam kehampaan gelap.

Tangan Intan menggapai udara, tetapi yang diraih hanyalah angin sepi.

“Tolong!” jeritnya, suara terputus oleh air yang masuk ke tenggorokan, masuk ke paru-paru. Sesak. Kegelapan semakin pekat.

Mata perih. Tiba-tiba, semuanya hilang—gelap.

Sumur itu kembali sunyi. Tidak ada suara, hanya suara angin yang mengalirkan bau busuk dari dalam tanah.

Di luar sumur, teman-temannya terdiam. Tak ada yang bergerak. Tak ada yang berbicara. Mereka hanya… terpaku.

Anton berdiri kaku, tubuhnya seperti beku, wajahnya pucat pasi.

“Intan?” Anggi berbisik, suara tercekat di tenggorokan. Ia memandang sumur itu, seolah berharap Intan akan muncul kembali—tapi ia tahu itu tidak mungkin.

“Sialan!” Anton berteriak pelan, seakan melemparkan kemarahannya pada kegelapan yang ada di hadapannya. Wajahnya dipenuhi ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Dia menyesal. Terlambat.

Rahman masih memandang sumur itu, matanya kosong. Tak ada tangisan. Tak ada reaksi lebih. Hanya pandangan yang menceritakan ketakutan yang lebih dalam.

Dia tahu sesuatu.

Sumur itu, atau sesuatu yang ada di dalamnya… bukan hanya air.

*****

Angin kencang menerjang. Suara ombak yang ganas menghantam batu karang di bawah. Malam pekat, seakan menelan segalanya. Hanya cahaya redup dari sisa api unggun yang tak cukup untuk menerangi tepi jurang yang menyeramkan itu. Batu-batu licin, lumut basah yang membuat setiap langkah terasa berbahaya.

Anggi berdiri di sana, terpaku. Tubuhnya kaku, tetapi matanya yang merah—berbeda.

Pandangan kosong. Seolah ada sesuatu yang menguasainya.

“Anggi?” Rahman memanggil, langkahnya maju pelan, waspada. Suara angin makin kencang, seolah membisikkan sesuatu yang tidak bisa didengar.

Tapi Anggi tidak bergerak. Dia hanya berdiri, mata terbelalak, tidak fokus.

Lalu, suara itu keluar.

Bukan suara Anggi.

Suara yang dalam, serak, bergetar.

“Mereka… memanggilku.”

Kata-kata itu terucap dengan desahan berat. Suara yang tak manusiawi. Ada sesuatu yang jahat merasuki tubuhnya. Tubuhnya berguncang. Gerakan-gerakan tak terkontrol.

“Harus… ikut…”

Anggi berjalan perlahan ke tepi jurang, seolah tidak mengenal bahaya. Langkahnya terhuyung, matanya kosong, memandang jurang yang dalam. Tidak ada lagi kesadaran di sana, hanya dorongan kuat untuk melompat.

Lompat.

Tubuhnya melayang ke udara, terbang dalam diam yang mencekam. “Aaaa…” jeritannya tertahan, tenggelam oleh suara ombak yang menelan tubuhnya. Tidak ada yang bisa menyelamatkan.

Semua terlalu cepat. Semua hilang dalam sekejap.

Sunyi.

Angin mendesing dengan suara yang menakutkan. Ombak pecah menghantam karang.

Mereka yang tersisa—Anton, Rahman, dan Junaidi—hanya bisa berdiri, terpaku, menatap jurang. Wajah mereka pucat, dada mereka sesak, namun tidak ada yang bisa mereka lakukan.

“Anggi…” Rahman berbisik, suara tercekat. Matanya kosong, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Sialan pulau ini!” Anton berteriak, amarahnya meledak, tapi itu hanya menambah kehampaan di udara. Teriakannya hilang, tenggelam dalam angin yang menderu.

Namun, saat itu… ada yang bergerak di bawah tebing.

Sebuah bayangan. Apa itu?

Tapi mereka tidak bisa lagi bergerak. Entah kenapa, kaki mereka terikat oleh sesuatu yang tak terlihat. Mereka tahu, ini bukan akhir.

*****

Pepohonan yang tinggi menjulang, menciptakan bayangan-bayangan yang bergerak seiring angin malam. Hutan ini seakan bernafas, tetapi bukan dengan kehidupan yang biasa.

Suara desahan angin yang membawa bisikan-bisikan tak terdefinisi, mengisi setiap celah. Udara terasa tebal, berat. Sesak.

Anton bergerak panik, matanya berkilat ketakutan. “Kita pergi! Sekarang!”

Suaranya hampir serak, napasnya terengah-engah, tubuhnya tidak bisa diam.

Namun, Rahman berdiri tegak, pandangannya jauh, seolah bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam. “Tidak. Ada yang salah. Kita harus cari tahu.”

“Cari tahu apa?” Anton berteriak, tangan gemetar. “Kita mati di sini, Rahman! Pulau ini… tempat ini… sudah menelan kita satu per satu!”

Keheningan. Hanya suara angin dan desahan yang terasa lebih berat dari sebelumnya. Junaidi, di sudut yang gelap, hanya diam. Senyum tipis terukir di wajahnya, mata yang berkilat seakan menantang kegelapan itu sendiri.

“Junaidi, apa yang terjadi?” Rahman bertanya dengan suara penuh curiga. Wajahnya tampak semakin pucat, aura ketegangan makin tebal.

Namun, Junaidi hanya tertawa. Suaranya rendah, penuh makna. “Permainan sudah dimulai.”

Anton, dengan tangan gemetar, mendekatkan tubuhnya pada Rahman, berusaha memegangnya dan menariknya pergi. “Cepat pergi, Rahman! Jangan dengarkan dia!”

Tapi, sebelum Anton bisa bergerak lebih jauh, Junaidi mengangkat tangan. Sebuah linggis muncul entah dari mana, berkilat tajam dalam cahaya redup hutan yang misterius.

Satu gerakan cepat, linggis itu menyambar dada Rahman, menembus tubuhnya dengan kekuatan yang mengerikan. Jeritan tertahan, mulut Rahman terbuka, namun tak ada suara yang keluar. Tubuhnya terhuyung mundur, jatuh ke tanah, seolah sudah terputus dari dunia ini.

Anton terdiam, tubuhnya membeku. Mata lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Rahman tergeletak, darah mengalir keluar dari dadanya. Keheningan yang mencekam mengisi udara, hanya suara desahan angin yang semakin keras.

Junaidi berdiri di atas tubuh Rahman yang sudah tak bernyawa, senyumnya semakin lebar, semakin gelap. “Satu lagi,” katanya dengan suara penuh makna. Tidak ada penyesalan, hanya kebencian yang membara di matanya.

Anton tak bisa bergerak. Semua yang terjadi begitu cepat, begitu mengerikan. Hutan itu… menghancurkan mereka satu per satu.

Namun, ada yang lebih menakutkan dari itu. Junaidi bukan hanya bertahan… dia bagian dari ini. Dia adalah bagian dari kegelapan itu.

*****

Di hutan, Anton terpojok, wajahnya dipenuhi ketakutan dan kebingungan. “Jangan…”

Namun Baim hanya tertawa, senyumnya semakin lebar, semakin liar. Tanpa ampun, dia ayunkan linggis ke arah Anton.

Kepala Anton terpenggal, darah memancar deras, menyembur ke tanah. Hutan menyerapnya, keheningan yang menakutkan mengikuti. Semua berakhir dalam ledakan darah yang gelap.

Junaidi terdiam, tatapannya kosong, tidak tahu harus berbuat apa. “Kau… gila.”

Baim menatapnya dengan mata yang penuh kegilaan. “Kita berdua, Junaidi. Tapi… hanya satu yang selamat.”

Tangan Baim mengeluarkan botol kecil. Racun. Tidak terlihat, tidak terdeteksi. Cepat.

Baim menyiramkan cairan itu ke dalam gelas yang ia tawarkan ke Junaidi, dengan senyuman yang penuh kemenangan. “Minuman untuk menyegarkan diri,” katanya, seolah semuanya hanya sebuah permainan kecil.

Junaidi, dengan kebingungannya yang besar, meneguk minuman itu. Sekejap setelahnya, tubuhnya bergetar, wajahnya memucat. Racun itu bekerja.

Junaidi terjatuh, tubuhnya menggigil, kemudian diam. Mati.

Baim berdiri di atas mayat-mayat mereka, di tengah hutan yang mengerikan. Tertawa, suara tawanya mengisi kesunyian malam yang pekat. “Sempurna,” bisiknya, suara yang sangat dingin dan penuh kepuasan.

Baim berdiri di sana, satu-satunya yang tersisa, dalang di balik topeng. Semuanya adalah bagian dari rencananya—permainan yang hanya dia yang mengendalikan.

Pulau ini, hutan ini, semua itu adalah naskah yang sudah ditulis. Dan di dalamnya, tidak ada tempat untuk belas kasihan.

Dengan kematian yang mengalir begitu mudah, permainan Baim berakhir dengan satu keputusan terakhir—dan dia adalah pemenangnya.

*****

Bangsal pengap. Cat dinding terkelupas. Lampu neon menggantung, berkedip-kedip seolah sekarat.

Baim terikat pada ranjang besi berkarat. Sabuk kulit mengekang pergelangan tangan dan kakinya. Tubuhnya kurus. Wajahnya penuh luka goresan sendiri.

Ia bergetar pelan, seperti menahan sesuatu yang terus meledak dalam kepala.

Tawa kecil keluar dari bibir pecahnya. Semakin keras. Menjadi jeritan.

“Sempurna…”

Suara serak, penuh kebanggaan yang rusak.

“Naskahku… mereka semua… sempurna…”

Mata Baim menatap kosong ke langit-langit, lalu ke dinding, lalu ke arah kamera pengawas.

Tertawa. Lagi. Dan lagi.

Tawa panjang, menusuk, penuh kegilaan dan kemenangan.

Ia menggumam tak jelas, bibirnya bergerak sendiri. Tapi satu kalimat terdengar jelas di antara dengusan napas:

“Aku… Tuhan di pulau itu.”

Luar rumah sakit.

Halaman becek. Rumput liar. Hujan gerimis turun perlahan.

Nelayan tua

Menatap bangunan rumah sakit. Menembus dinding.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *