Pemuda Jatiluwih Enggan Bertani, Merasa Dieksploitasi dan Tak Sejahtera

Avatar photo

Tabanan, 30 April 2025 – Para pemuda di Jatiluwih, Tabanan, Bali, enggan menekuni profesi sebagai petani. Mereka merasa dieksploitasi tanpa mendapatkan perhatian yang layak terhadap kesejahteraannya.

Salah satu pemuda Jatiluwih, Wayan Tengok (36), mengaku pernah bertani, namun kini memilih berwirausaha. Ia menilai penghasilan dari bertani sangat kecil dan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

“Hasil bertani sangat minim, tidak cukup untuk hidup,” kata Tengok saat ditemui di Jatiluwih, Rabu (30/4/2025).

Menurutnya, justru pihak-pihak lain yang justru meraih keuntungan dari aktivitas pertanian dan pariwisata di Jatiluwih.

Tengok menjelaskan, sejak UNESCO menetapkan sawah terasering di Jatiluwih sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD), lahan pertanian milik warga juga dijadikan objek wisata.

“Karena status warisan budaya dunia, sawah milik petani berubah jadi objek wisata. Turis yang datang dikenai tiket masuk sebesar Rp75 ribu per orang,” ungkapnya.

Untuk menjaga status WBD, Pemerintah Kabupaten Tabanan menetapkan sawah-sawah tersebut sebagai zona hijau. Seiring waktu, pengelolaan tiket diserahkan kepada Daerah Tujuan Wisata (DTW) Jatiluwih.

Tengok menyebut, pemasukan dari tiket mencapai ratusan juta rupiah setiap bulan. Pendapatan tersebut kemudian dibagi antara Pemkab Tabanan dan petani yang diwakili oleh DTW.

“Awalnya, pembagian hasil tiket adalah 55 persen untuk Pemkab dan 45 persen untuk petani. Saat DTW dipimpin Pak Nengah Tirta, sistem berubah menjadi 45 persen untuk Pemkab dan 55 persen untuk petani,” katanya.

Setelah kepemimpinan DTW berganti, Tengok mengaku tidak mengetahui apakah sistem pembagian tersebut masih berlaku.

Ia juga mengungkapkan bahwa hasil yang diterima petani semakin kecil karena harus dibagi dengan banyak pihak, termasuk dua desa adat.

Tengok berpendapat, seharusnya Pemkab hanya menerima 10 persen, sementara 35 persen lainnya diserahkan langsung kepada petani.

Ia pun mengkritik pengelolaan DTW yang dinilai tidak transparan. “Ada kabar pengurus DTW menerima gaji besar. Kami juga mendengar mereka jalan-jalan ke Singapura, sementara kami sebagai pemilik lahan kesulitan ekonomi. Ini sangat ironis,” tegasnya.

Ia menyinggung program pemerintah pusat yang mendorong generasi muda agar menekuni profesi petani. Menurutnya, tidak ada satu pun pemuda di Jatiluwih yang tertarik karena minimnya penghasilan.

Terkait keberadaan warung-warung milik petani di sekitar sawah, Tengok menilai hal itu wajar sebagai upaya menambah penghasilan, apalagi didirikan di atas lahan pribadi.

Adanya pihak yang mempersoalkan warung-warung tersebut dengan alasan pelanggaran zona hijau, menurutnya tidak sepenuhnya benar.

“Kalau memang tidak ingin kami buka warung, tolong perhatikan dulu kesejahteraan petani. Seperti saya bilang, jatah 35 persen untuk Pemkab sebaiknya dialihkan ke petani, dan DTW harus transparan soal pembagian hasil penjualan tiket,” pungkasnya.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *