Gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 yang mengguncang Myanmar pada Jumat (28/3/2025) telah meninggalkan kehancuran besar dan menelan ribuan korban jiwa. Hingga Minggu (30/3), bau menyengat dari tubuh-tubuh yang tertimbun puing-puing mulai tercium di sepanjang jalan di kota Mandalay.
Warga dan tim penyelamat bekerja tanpa kenal lelah untuk mencari korban yang mungkin masih hidup, meski upaya mereka terkendala minimnya alat berat dan cuaca panas ekstrem.
Dilaporkan bahwa lebih dari 1.600 orang tewas, sementara ribuan lainnya terluka dan ratusan orang masih dinyatakan hilang. Sayangnya, proses evakuasi semakin sulit akibat infrastruktur yang rusak parah, termasuk jalanan yang terputus, jembatan runtuh, hingga bandara Mandalay yang lumpuh total.
Baca Juga:
“Situasinya sangat berat. Kami hanya menggunakan tangan dan alat sederhana untuk mencari anggota keluarga atau tetangga yang mungkin selamat,” ungkap seorang relawan setempat.
Kondisi darurat ini juga membuat warga Mandalay, yang berjumlah sekitar 1,5 juta jiwa, terpaksa bermalam di jalanan karena rumah mereka telah hancur. Di tengah bencana ini, upaya bantuan internasional mulai tiba, meski terbatas oleh konflik internal di Myanmar yang memperparah koordinasi penyelamatan.
Manajer Catholic Relief Services, Cara Bragg, menyoroti kekurangan pasokan makanan, air bersih, dan bantuan medis yang sangat diperlukan.
“Rumah sakit penuh sesak. Staf medis kewalahan menghadapi banyaknya pasien, sementara suplai obat-obatan sangat minim,” ujarnya usai menerima laporan dari timnya di Mandalay.
Dengan gempa susulan magnitudo 5,1 yang kembali terjadi pada Minggu sore, masyarakat Myanmar kini menghadapi krisis kemanusiaan yang semakin memburuk. Situasi ini memerlukan perhatian global untuk memberikan bantuan yang lebih terorganisasi dan efektif demi meringankan penderitaan korban.

