Kisah  

PALSU YANG TERAGUKAN

Avatar photo

JEJAK KENANGA 4: PALSU YANG TERAGUKAN

*

Cahaya lampu temaram menyorot wajah lelaki separuh baya yang berdiri tegak di tengah ruangan. Bagaspati mengamati tubuh yang terikat di kursi kayu itu—tanpa baju, penuh luka, berlumuran darah dan keringat.

Dari setiap pori kulitnya, aroma cuka tajam meresap, menusuk lebih dalam dibandingkan pisau yang sudah berkali-kali mengguratnya.

Lelaki itu menggeram tertahan. Mulutnya tersumpal kain tebal, merah oleh darah yang telah mengering. Tubuhnya menggeliat, mencoba melawan rasa sakit yang menggerogoti kesadarannya. Bagaspati tidak peduli.

Ia menggeser kursinya sedikit, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja. Herman berdiri tak jauh, memerhatikan dengan ekspresi kosong. Tiga pria bertubuh tegap di sudut ruangan tetap diam, hanya menunggu perintah.

Bagaspati mendekat, tatapannya dingin. Ia berjongkok, menatap langsung ke wajah lelaki yang hampir tak lagi dikenali oleh dirinya sendiri.

“Jadi, kau benar-benar ingin mati dengan rahasia ini?”

Tidak ada jawaban. Hanya erangan samar, nyaris seperti suara angin yang kehilangan arah.

Bagaspati menghela napas. Ia bangkit perlahan, meraih botol kecil dari meja, menuangkan isinya ke luka di bahu lelaki itu.

Lelaki itu menggeliat, tubuhnya menegang. Nafasnya tercekat, matanya terbelalak, tapi jeritannya tertahan oleh kain yang membungkam mulutnya. Herman tersenyum miring, seolah menikmati tiap detik dari penyiksaan ini.

“Kita sudah lama bermain dengan sabar,” ujar Herman, nada suaranya ringan tetapi beracun. “Tapi ada batasnya, bukan?”

Bagaspati berjalan ke sisi lain ruangan, mengamati lembaran-lembaran kertas di atas meja. Beberapa dokumen telah dikumpulkan dari berbagai sumber, tetapi yang mereka cari belum ada di sini.

“Aku tidak suka membuang waktu,” katanya, suaranya tak lebih dari bisikan yang menusuk. “Jadi, aku ingin kau memikirkan sesuatu sebelum kau mati nanti—seberapa besar dokumen itu bernilai dibandingkan nyawamu?”

Ia melirik Herman. “Buka sumpalnya.”

Herman menuruti tanpa ragu. Lelaki itu terbatuk keras begitu kain di mulutnya ditarik kasar, darah bercampur liur mengalir dari sudut bibirnya.

Ia mencoba berbicara, tetapi suaranya hanya serpihan yang pecah, tidak cukup jelas untuk menjadi kalimat. Bagaspati menunggu sejenak, lalu bersandar di meja.

“Ayo, sekarang kau bisa bicara. Aku akan mendengar.”

Lelaki itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya kabur, tetapi masih ada api kecil yang belum padam. Ia menarik napas panjang, suaranya gemetar saat akhirnya berbicara.

“Kau tidak akan menemukannya.”

Bagaspati tersenyum kecil.

“Salah jawaban.”

Ia mengangguk pada Herman dan tiga pria lainnya. Mereka melangkah maju, bayangan mereka menutupi seluruh tubuh lelaki itu.

**

Kabut tipis mengambang di atas jalan setapak, membalut malam dengan kesunyian yang menusuk. Di tengah bayang-bayang pepohonan yang menjulang tinggi, tiga SUV hitam melaju cepat, membelah kegelapan dengan suara mesin yang bergemuruh.

Di sisi kendaraan, huruf-huruf besar mencolok bertuliskan BGS Fondation, seolah ingin meyakinkan siapa pun yang melihat bahwa ini hanyalah iring-iringan bantuan, bukan misi rahasia yang membawa sesuatu yang lebih kelam.

Di dalam mobil terdepan, seorang pria berbadan besar menggenggam kemudi dengan erat, matanya menatap tajam ke jalan berbatu di depan.

Kursi belakang dipenuhi dengan empat penumpang—senyap, tanpa percakapan, hanya sesekali melirik koper besar yang tergeletak di antara mereka. Sesuatu di dalam koper itu lebih berharga dari nyawa mereka sendiri.

Mobil-mobil itu terus melaju, menghindari lubang-lubang kecil, menabrak akar pepohonan yang mencuat dari tanah, tetapi tidak memperlambat laju. Mereka hanya ingin keluar dari tempat ini secepat mungkin.

Di pintu gerbang Padepokan Al Mubarok sisi timur, sosok berjaket hitam berdiri tegak di tengah jalan setapak yang sempit. Tubuhnya tegap, satu tangan menenteng pistol bersadap suara, sementara yang lain menggenggam radio kecil yang hampir tak terlihat dalam genggamannya.

SUV terdepan melaju dengan kecepatan penuh, tetapi dalam sekejap, lelaki itu mengangkat senjata, membidik langsung ke arah sopir.

Dor!

Peluru melesat tanpa suara, menghantam kaca depan mobil, membuat pria gemuk di balik kemudi tersentak. Refleksnya menginjak rem dalam-dalam—dan itu menjadi pemicu tabrakan beruntun.

SUV kedua menghantam bagian belakang mobil pertama dengan keras, diikuti oleh SUV ketiga yang terpental ke sisi jalan. Suara benturan besi dan kaca memenuhi udara malam, disusul oleh pekikan panik dari dalam kabin kendaraan.

Dalam keheningan yang tercipta setelah tabrakan itu, lelaki berjaket hitam melangkah maju dengan tenang, pistolnya tetap terangkat.

Pintu mobil pertama terbuka paksa, seorang pria dengan luka di dahinya berusaha keluar. Tapi sebelum langkah pertamanya menjejak tanah—Dor!—sebuah peluru menembus dadanya.

Mobil kedua, pintu belakangnya sedikit terkuak. Seorang penumpang mencoba meraih sesuatu di pinggangnya. Lelaki berjaket hitam tak memberi ruang. Dor! Dor! Dua tembakan cepat menghentikan gerakan itu sebelum sempat menjadi ancaman.

SUV ketiga, yang terguling sedikit ke sisi kiri jalan, tetap diam tanpa perlawanan. Dari sela-sela pintunya yang terbuka, hanya tetesan darah yang turun perlahan, bercampur dengan lumpur dan dedaunan kering.

Pemuda berjaket hitam menurunkan pistolnya, sejenak memeriksa keadaan. Tidak ada perlawanan. Tidak ada suara selain hembusan angin yang membawa aroma besi dan hujan yang menggantung di udara.

Ia melangkah menuju mobil kedua, membuka pintu belakang, menyingkap koper besar yang sejak tadi diam dalam bayangan. Satu tarikan ritsleting mengungkap sesuatu yang lebih berbahaya dari peluru—sebuah dokumen, tersusun rapi, dengan lambang BGS Fondation tercetak di sudutnya.

Ia meraih dokumen itu, mengamatinya sekilas sebelum memasukkannya ke dalam ransel.

Misi selesai.

Tanpa menoleh ke belakang, pemuda itu berjalan perlahan menuju gerbang Padepokan Al Mubarok, menghilang ke dalam kegelapan malam—meninggalkan tiga SUV hitam yang kini menjadi simbol kejatuhan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan rahasia.

***

Ruang interogasi itu lembap dan gelap, diterangi hanya oleh satu lampu neon yang berkedip-kedip seperti sedang sekarat.

Bau keringat dan rokok murahan bercampur dengan udara yang stagnan, menciptakan atmosfer yang lebih mirip ruang penyiksaan daripada tempat mencari kebenaran.

Hidayat duduk di kursi besi, tangan terborgol di depan tubuhnya yang kurus dan kaku. Baju lusuhnya tampak lebih basah karena keringat yang bercucuran, sementara luka lebam di sudut bibirnya menandakan bahwa ini bukan pertama kali ia mengalami kekerasan dalam beberapa hari terakhir.

Di seberangnya, AKP Sulastri berdiri dengan kedua tangan bersilang, diam mengamati tanpa ekspresi. Bima duduk di sudut meja, mengetuk-ngetukkan pulpen ke permukaan kayu, menciptakan ritme yang tak nyaman.

Di antara mereka, udara terasa lebih berat daripada biasanya.

Sulastri melangkah mendekat, mengambil dokumen dari atas meja tanpa terburu-buru. Suaranya keluar dingin, datar.

“Kurnia Praja bilang kau mencuri sesuatu darinya. Barang berharga. Kau masuk ke ruangannya, mengambil sesuatu. Tapi sejauh ini, aku tidak melihat ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan itu.”

Hidayat tetap diam. Hanya napasnya yang terdengar berat, sesekali tersendat seperti orang yang sudah kehabisan tenaga.

Bima memiringkan kepalanya sedikit, menatap langsung ke wajah pria kurus itu.

“Kau hanya seorang pekerja kebersihan, bukan? Lalu kenapa mereka begitu ingin menyingkirkanmu?”

Hidayat menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian yang sudah mulai runtuh sejak malam pertama ia ditangkap.

“Aku hanya membersihkan ruangan itu,” gumamnya, suaranya hampir tenggelam oleh dengung lampu.

Sulastri menghela napas pelan, tapi tidak menunjukkan rasa kasihan sedikit pun.

“Dan di ruangan itu, kau melihat sesuatu yang tidak seharusnya kau lihat?”

Hidayat mengangkat kepalanya sedikit, matanya berusaha mencari sesuatu di dalam mata Sulastri—rasa aman, mungkin? Tapi yang ia temukan hanya kehampaan yang terlalu sulit untuk dipahami.

“Aku… mendengar mereka bicara,” ucapnya akhirnya, suaranya bergetar. “Bagaspati… dan Kurnia Praja. Mereka bicara soal dokumen.”

Sulastri menatap sekilas ke arah Bima, sebelum kembali fokus pada pria kurus yang mulai kehilangan kesadarannya.

“Dokumen apa?”

Hidayat menutup matanya sebentar, lalu menghela napas panjang, seperti seseorang yang baru saja menerima nasibnya.

“Dokumen yang bisa menghancurkan semuanya. Dokumen yang akan membuat nama Kurnia Praja… hilang dari kursinya.”

Sejenak, ruangan terasa semakin dingin. Bima berhenti mengetuk meja, sementara Sulastri kini berdiri lebih tegak.

“Kau tahu apa yang terjadi pada orang-orang yang terlalu banyak tahu?”

Hidayat tersenyum kecil—senyum yang lebih menyerupai kepahitan daripada kelegaan.

“Aku sudah mati sejak malam itu, Bu. Mereka hanya belum memastikan tubuhku benar-benar dikubur.”

****

Ruangan itu diterangi lampu redup yang menggantung rendah, menciptakan bayangan panjang di lantai. Kertas-kertas bertebaran di meja, sebagian berisi laporan Maksum, sebagian lagi hanya catatan kecil yang ditulis terburu-buru.

Di tengah meja, sebuah peta kota terbuka, dengan lingkaran merah yang menandai lokasi pergudangan.

Kenanga berdiri di samping meja, tangan bersilang, matanya mengunci satu titik di peta. Kinan duduk di kursinya dengan wajah tegang, sementara Puspita bersandar ke tembok, lengannya terlipat di dada.

Hening menggantung, terlalu berat untuk dipecah dengan percakapan ringan.

Kinan akhirnya menghela napas, membuka peta lebih lebar.

“Pergudangan ini bukan sekadar tempat penyimpanan barang. Itu sarang. Preman, kaki tangan Bagaspati, bahkan beberapa nama besar punya urusan di sana.”

Kenanga tetap diam. Matanya menelusuri jalur menuju gudang—jalan sempit, tanpa akses resmi, hampir tak terjamah kecuali oleh orang-orang yang memang seharusnya ada di sana.

Puspita menggeser tubuhnya sedikit, tatapannya tajam.

“Dan polisi tidak bisa masuk?”

Kinan menggeleng pelan.

“Pemiliknya pejabat tinggi. Seseorang yang cukup berkuasa untuk memastikan tempat itu tetap menjadi zona abu-abu.”

Puspita mendecak.

“Tentu saja.”

Kenanga akhirnya berbicara, suaranya pelan tetapi penuh keteguhan.

“Aku harus masuk.”

Kinan menutup mata sesaat, seolah sudah menduga jawaban itu.

“Kenanga…”

Puspita melangkah mendekat, duduk di kursi di hadapan Kenanga. Tatapannya lembut, tetapi penuh urgensi.

“Kau benar-benar akan melakukan ini sekarang? Saat ibu masih di rumah sakit?”

Kenanga menegang. Seolah baru kali ini ia menyadari bahwa pilihan ini bukan hanya soal menemukan dokumen, tapi juga tentang apa yang mungkin ia korbankan.

Kinan menatapnya lebih lama, suaranya lebih rendah.

“Stadium tiga, Kenanga… tumor itu semakin ganas. Alzheimer-nya semakin parah. Dokter bahkan belum bisa memberikan prognosis pasti.”

Puspita menggenggam tangan Kenanga, suara pelannya menusuk lebih dalam daripada fakta yang sudah ia tahu.

“Apa kau siap menghadapi kemungkinan… bahwa kau mungkin tidak akan ada di sana saat ia benar-benar membutuhkannya?”

Keheningan yang datang setelah kata-kata itu lebih mematikan daripada apa pun.

Kenanga menarik napas dalam. Jemarinya mengepal di atas meja, seperti seseorang yang mencoba meraih sesuatu yang tak bisa disentuh.

“Jika aku tidak melakukan ini sekarang…” ia akhirnya berbicara, suaranya gemetar, “aku mungkin akan kehilangan kesempatan terakhir kita membongkar semua ini.”

Kinan menggeleng, matanya penuh frustrasi.

“Dan kalau sesuatu terjadi pada ibumu, kau tidak akan pernah memaafkan diri sendiri.”

Puspita masih menggenggam tangannya.

“Apa yang lebih penting, Kenanga? Membuka kebenaran… atau mempertahankan yang masih ada?”

Kenanga menutup matanya. Di dalam kepalanya, ia bisa melihat wajah Ambar, redup tetapi penuh senyum seperti dulu. Ia bisa mendengar suara ibunya, lembut, penuh kebijaksanaan yang tidak pernah berubah.

Tapi di samping itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, lebih mendesak.

Ia membuka matanya, tatapannya lebih dingin.

“Aku akan pergi.”

Kinan membuang napas kasar.

Puspita melepaskan genggamannya, tatapannya penuh luka yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Kau benar-benar keras kepala.”

Kenanga tidak menjawab. Ia hanya menatap peta, sekali lagi memastikan jalurnya.

Di luar, hujan mulai turun. Pelan, tetapi cukup untuk menandai bahwa malam ini bukan hanya sekadar malam biasa.

Dan keputusan telah diambil.

*****

Gudang itu sunyi. Bukan sunyi yang biasa—tetapi sunyi yang terasa berat, seperti ada sesuatu yang mengendap di udara, menunggu untuk meledak. Bau besi karatan bercampur dengan aroma minyak tanah yang meresap ke dalam dinding-dinding tua.

Di tengah ruangan, Maksum duduk di kursi kayu yang sudah lapuk, tubuhnya terikat kuat, napasnya berat.

Darah mengering di sudut bibirnya. Satu matanya bengkak, dan luka sobek di lengannya masih terus mengeluarkan cairan. Tapi ia tetap tegak, matanya menatap lurus ke depan—tajam, penuh perlawanan.

Bagaspati berdiri di depannya, tangan kanan menggenggam pistol yang sejak tadi belum ia tembakkan. Herman berdiri di sisi kanan, sementara tiga pria bertubuh tegap menunggu di sudut, masing-masing bersenjata, masing-masing waspada.

Bagaspati menekan jemarinya ke pelipis, mencoba menahan kesabaran yang semakin tipis.

“Kita sudah terlalu lama bermain-main, Maksum. Aku hanya ingin satu jawaban.”

Ia menunduk, mendekat ke wajah Maksum, suaranya semakin rendah.

“Di mana dokumen itu?”

Maksum menarik napas dalam, lalu menyeringai kecil—bukan karena ia menikmati penyiksaan ini, tetapi karena ia tahu sesuatu yang Bagaspati tidak tahu.

“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, Bagaspati. Tidak kali ini.”

Bagaspati diam sejenak. Lalu ia berdiri tegak, menghela napas panjang, seperti seseorang yang baru saja kehilangan kesabaran terakhirnya.

“Kau ingin mati?”

Ia mengangkat pistolnya. Herman mengawasi, tiga pria lainnya semakin siaga.

Maksum tetap diam. Tidak ada ketakutan di matanya—hanya keyakinan yang dingin.

Dan tepat saat Bagaspati hendak menarik pelatuk, suara letusan pistol terdengar dari luar.

BRAKK!

Tubuh salah satu penjaga di luar gudang terhuyung, lalu jatuh ke tanah.

Bagaspati membalikkan badan cepat. Herman mencabut pistolnya, tiga pria bertubuh tegap langsung berpindah posisi, masing-masing bersiap menghadapi ancaman.

Langkah kaki terdengar dari luar. Teratur, mantap, tanpa ragu.

Pria bertubuh tegap dengan jaket hitam muncul di ambang pintu, pistol bersadap suara masih mengepulkan asap. Tatapan matanya dingin, mengunci langsung ke arah Bagaspati.

Sekejap suasana berubah.

Bagaspati tidak menunggu lama. Ia mengangkat senjatanya lebih tinggi, memberi isyarat kepada Herman dan anak buahnya.

Suara tembakan meledak, mengoyak keheningan gudang.

BRAKK! BRAKK! BRAKK!

Cahaya letusan pistol menyala di ruangan yang temaram, menciptakan bayangan yang bergerak di dinding. Peluru melesat, menghantam kayu, besi, dan tubuh yang berada di jalur salah.

Di luar gudang, Kenanga baru turun dari mobil yang dikendarai Kinan.

Ia membeku sejenak, mendengar suara tembakan bertubi-tubi dari dalam gedung. Matanya menyapu area sekitar—dan apa yang ia lihat membuat napasnya tertahan.

Belasan tubuh tergeletak tanpa nyawa di beberapa titik di sekitar pergudangan.

Tanah basah oleh lumpur dan darah. Bau mesiu bercampur dengan aroma besi yang menguap ke udara malam.

Kinan melangkah lebih dekat, tatapannya penuh kewaspadaan.

“Kenanga… kita harus hati-hati.”

Kenanga tidak menjawab. Ia menarik napas dalam, lalu melangkah maju dengan hati-hati.

Mereka mendekati pintu gudang yang terbuka sedikit. Di dalam, suara tembakan masih bersahutan, seperti peperangan kecil yang hanya melibatkan mereka yang benar-benar tahu bagaimana permainan ini akan berakhir.

******

Gudang semakin sunyi. Hanya suara peluru terakhir yang memantul di dinding besi sebelum akhirnya senyap sepenuhnya.

Pria misterius berjaket hitam berdiri di tengah ruangan, napasnya teratur, matanya tajam. Di hadapannya, tiga pengawal Bagaspati mulai bergerak membentuk formasi, masing-masing merapatkan posisi untuk menghadangnya.

Tubuh mereka tegap, dengan sikap yang menunjukkan pengalaman bertarung yang bukan sekadar jalanan biasa. Tidak ada kepanikan—hanya konsentrasi yang jelas terbaca dari tatapan mereka.

Pria berjaket hitam mengangkat kepalanya sedikit, menatap mereka satu per satu.

Lalu semuanya bergerak dalam sekejap.

Pengawal pertama menyerang duluan, tubuhnya meluncur dengan kecepatan tinggi, tinjunya mengarah ke wajah pria berjaket hitam.

Tetapi sebelum pukulan itu mencapai target, pria berjaket hitam sedikit memiringkan tubuhnya, menghindari serangan, lalu membalas dengan satu tendangan lurus ke dada lawannya.

Tubuh pengawal itu terdorong ke belakang, menghantam tumpukan barang di sudut ruangan.

Pengawal kedua tidak menunggu lama. Ia menyerang dari samping, mencoba melumpuhkan pria berjaket hitam dengan serangan beruntun ke arah perut.

Pria berjaket hitam mengangkat tangan, menangkis dengan lengan bawah, lalu berputar cepat—mengayunkan siku langsung ke rahang lawannya.

Pengawal kedua terhuyung, tetapi tidak jatuh. Ia mundur sedikit, menarik napas, lalu kembali memasang kuda-kuda.

Pengawal ketiga melihat celah—ia melompat ke arah pria berjaket hitam dari belakang, mencoba menyerang dengan gerakan cepat yang hampir tidak terdengar.

Tetapi pria berjaket hitam sudah mengantisipasi.

Dalam satu gerakan, ia berbalik, menangkap tangan pengawal ketiga, lalu memutarnya ke belakang dengan kekuatan yang cukup untuk membuat lawannya mengerang kesakitan.

Ia menekan lebih dalam.

Tubuh pengawal itu terdorong ke depan, lututnya jatuh menghantam lantai.

Dalam waktu kurang dari satu menit, ketiga pengawal sudah kehilangan keseimbangan mereka.

Bagaspati yang sejak tadi masih memaksa Maksum bicara mulai terlihat lebih gelisah. Matanya menyapu keadaan sekitar, melihat pengawal-pengawalnya yang kini kesulitan melawan.

Ia tahu, jika ia tetap tinggal, situasi bisa berbalik lebih buruk.

Dalam gerakan cepat, Bagaspati mundur perlahan, lalu melangkah menuju lorong gelap di sisi gudang.

Tanpa mengetahui informasi apa pun tentang dokumen itu, ia memilih kabur.

Di luar gudang, Herman berlari dalam gelap, napasnya memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Ia tidak peduli dengan pertarungan di dalam—ia hanya ingin keluar dari tempat ini.

Tetapi langkahnya terhenti mendadak.

Di depan, berdiri seseorang yang sangat ia kenal.

Kenanga.

Herman membeku sejenak. Mata Kenanga tajam, tubuhnya tegak, siap menghadapi.

Kenanga melangkah maju, tatapannya menusuk, penuh amarah yang sejak lama ia tahan.

“Sudah lama aku ingin menemukanmu, Herman.”

Herman tertawa kecil, tetapi nada suaranya penuh ketegangan.

“Kau masih menyimpan dendam itu, Kenanga?”

Kenanga tidak menjawab. Ia hanya mengangkat kuda-kudanya, bersiap menyerang.

Pertarungan dimulai dengan cepat.

Kenanga bergerak lebih gesit, setiap pukulannya lebih akurat dibandingkan terakhir kali ia bertarung.

Silatnya semakin matang.

Herman berusaha melawan, mencoba memanfaatkan celah dengan gerakannya yang cepat. Tetapi Kenanga tidak memberinya kesempatan.

Dalam waktu singkat, satu pukulan Kenanga tepat menghantam tubuh Herman, membuatnya terjatuh ke tanah dengan keras.

Herman mengerang, tetapi sebelum ia bisa bangkit, Kenanga sudah menindihnya, tangannya mencengkeram kerah bajunya dengan kuat.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu lolos lagi?”

Herman menatapnya, lalu tersenyum kecil—senyum manipulatif yang sejak dulu ia gunakan untuk mengendalikan orang.

“Jika kau membunuhku, Kenanga, kau tidak akan mendapatkan jawaban apa pun.”

Kenanga mengangkat alisnya, masih menekan tubuh Herman.

“Jawaban apa?”

Herman menyeringai lebih lebar.

“Aku sudah mengutus seseorang untuk membunuh ibumu di rumah sakit.”

Semua ketegangan berubah dalam sekejap.

Mata Kenanga melebar, napasnya tercekat.

Herman tertawa pelan.

“Apa kau pikir aku tidak punya cara lain untuk menjatuhkanmu?”

Amarah Kenanga meledak. Dalam satu gerakan, ia mengangkat kepalan tangannya, siap menghantam wajah Herman dengan kekuatan penuh—

Tetapi sebelum ia bisa melakukannya, Kinan sudah menarik lengannya.

“Kenanga, hentikan!”

Kenanga berusaha melepaskan diri, matanya penuh kemarahan yang nyaris membakar.

“Dia sudah menghabisi terlalu banyak orang, Kinan! Aku tidak bisa membiarkan dia lolos lagi!”

Kinan menahan lebih kuat, tatapannya penuh ketegasan.

“Jika kau membunuhnya, kau akan masuk penjara, Kenanga! Kau tahu itu!”

Kenanga membeku.

Tangannya masih terangkat, tetapi perlahan-lahan ia mulai kehilangan kekuatan untuk menurunkannya.

Herman tertawa pelan, tetapi tatapannya tetap tajam, seolah menikmati situasi ini.

Di sekitar mereka, malam semakin sunyi.

Dan bagi Kenanga, ini bukan hanya soal pembalasan.

Ini soal sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang akan menentukan bagaimana permainan ini berakhir.

*******

Langkah Kenanga dan Kinan semakin cepat saat mereka masuk ke dalam gudang. Bau mesiu masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma besi karatan yang semakin menyengat.

Tubuh-tubuh tergeletak di lantai—tiga pengawal Bagaspati yang kini tak lagi bergerak.

Dari kejauhan, di tengah cahaya redup yang berpendar di sudut ruangan, sosok pria misterius berdiri tegak.

Kenanga berhenti, matanya membelalak saat melihatnya meraih pistol yang tergeletak di lantai—senjata milik Bagaspati yang jatuh ketika ia melarikan diri.

Semuanya terjadi dalam hitungan detik.

Tanpa ragu, pria misterius mengangkat pistol itu, membidik langsung ke arah Maksum—yang masih terikat di kursi, napasnya tersengal, tubuhnya penuh luka.

DOR!

Satu peluru menghantam perut Maksum.

DOR!

Peluru kedua menembus bagian bawah tulang rusuknya.

DOR!

Satu tembakan terakhir mengenai pahanya.

Kenanga berteriak, tubuhnya hampir maju sebelum Kinan menahan lengannya.

“Jangan!”

Pria misterius menatap Kenanga sekilas—tatapan tajam yang tidak membawa emosi, hanya keteguhan yang sulit diterjemahkan.

Tanpa kata, ia berbalik, melangkah keluar dengan cepat, menghilang dalam kegelapan sebelum Kenanga sempat berbuat apa pun.

Kenanga membeku.

“Kenapa…”

Ia segera berlari ke arah Maksum, tangannya gemetar saat mencoba menekan luka-luka yang terus mengeluarkan darah.

“Maksum! Bertahan!”

Maksum mengerang pelan, bibirnya bergetar.

“Kenanga… dokumen itu…”

Kenanga menatapnya dengan napas tercekat, tetapi sebelum Maksum bisa melanjutkan, tubuhnya melemah lebih jauh.

Kinan meraih bahu Kenanga, suaranya lebih tegas.

“Kita harus cari dokumen itu!”

Kenanga menggeleng, matanya masih berfokus pada Maksum yang semakin sulit bernapas.

“Tidak… aku harus mengejarnya… aku harus tahu kenapa dia melakukan ini!”

Ia bersiap bangkit, tetapi Kinan mencengkram lengannya lebih kuat.

“Tidak! Fokus kita sekarang Maksum dan dokumen itu! Jika dia melakukannya untuk sebuah alasan, kita akan menemukannya nanti!”

Kenanga diam, napasnya tersengal, tetapi ia tahu Kinan benar.

Di luar, suara sirene mobil polisi mulai terdengar, semakin dekat.

Lampu kendaraan menembus kegelapan, menyapu area pergudangan dengan kilatan cahaya merah dan biru yang berpadu dengan suasana malam yang penuh ketegangan.

Mobil polisi berhenti.

Pintu terbuka.

Sejumlah polisi turun dengan senjata siap di tangan.

Dari salah satu mobil, AKP Sulastri keluar, langkahnya cepat saat mendekati Kenanga dan Kinan.

Matanya menyapu keadaan sekitar, melihat tubuh-tubuh yang tergeletak, melihat bagaimana Kenanga berlutut di samping Maksum yang masih berusaha tetap sadar.

Sulastri: (Nada tegas, penuh urgensi) “Panggil tim medis. Cepat.”

Seorang polisi langsung berbicara di radio, menghubungi tim kesehatan untuk menuju lokasi.

Sulastri menatap Kenanga, ekspresinya tetap dingin tetapi penuh pertanyaan.

“Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Kenanga menoleh, matanya masih menunjukkan sisa keterkejutan yang belum sepenuhnya menghilang.

Di luar, sirene masih berbunyi.

Dan malam ini, misteri semakin menumpuk.

********

Ponsel bergetar pelan di meja kayu yang sudah mulai kehilangan warnanya. Iptu Andrian menatap layar sebentar, lalu mengambilnya dengan gerakan cepat.

Ia tidak mengenali nomor yang muncul di layar, tetapi nalurinya tahu—telepon ini bukan sekadar panggilan biasa.

Ia menempelkan ponsel ke telinga, dan sebelum sempat mengeluarkan satu kata pun, suara di seberang sudah lebih dulu berbicara.

Dingin. Tajam. Mengancam.

“Saat tim kepolisian sampai ke gudang, pastikan Maksum tidak keluar dari sana dalam keadaan hidup.”

Jantung Andrian berdegup lebih cepat.

Ia tetap diam, tetapi pikirannya sudah bergerak lebih cepat dari suaranya.

“Aku tidak paham maksudmu.”

Suara di seberang mendengus pelan, seolah sudah mengantisipasi jawaban itu.

“Jangan berlagak bodoh, Andrian. Aku tahu kau ingin tetap berpakaian dinas.”

Andrian menegang.

“Apa maksudmu?”

Hening sejenak.

Lalu, suara itu kembali—lebih pelan, lebih menusuk.

“Ijazahmu… saat kau mendaftar ke akademi. Kau pikir tidak ada yang tahu kepalsuan itu?”

Udara di dalam ruangan terasa semakin sempit.

Andrian menggenggam ponsel lebih erat.

“Kau tidak punya bukti apa pun.”

Tawa kecil terdengar di seberang.

“Aku tidak butuh bukti, Andrian. Aku hanya butuh kau melakukan sesuatu untukku. Maksum harus mati. Aku tidak ingin dia berbicara.”

Sirene mobil polisi masih terdengar sayup-sayup di kejauhan, semakin mendekat ke area pergudangan.

Andrian menarik napas panjang, tetapi tidak mengatakan apa pun.

“Apa yang akan kau pilih, Andrian? Menjalankan tugas sebagai polisi… atau mempertahankan seragam itu dengan cara yang lebih kotor?”

Suara di seberang berhenti, lalu tiba-tiba terputus.

Andrian menatap ponsel di tangannya, tetapi pikirannya sudah lebih jauh daripada itu.

Dan di gudang, di bawah sirene yang semakin terang, seseorang masih berusaha bertahan dari luka-lukanya.

Sementara kegelapan semakin erat mengikat rahasia yang belum terbongkar.

Kenapa pria berjaket hitam itu menembak Maksum? Apakah itu bentuk pengkhianatan atau justru cara untuk menyelamatkannya?

Sementara Kenanga masih berusaha menemukan dokumen rahasia, pertanyaannya semakin bertumpuk—apakah dokumen itu benar-benar tersimpan di pergudangan, atau sudah lebih dulu dipindahkan oleh seseorang yang lebih licik?

Dan di tempat lain, telepon misterius yang diterima Iptu Andrian membawa ancaman baru—siapa sebenarnya sosok yang memerintahkannya untuk membunuh Maksum, dan bagaimana kaitannya dengan rahasia besar yang selama ini tersimpan di balik kepemimpinan Kurnia Praja?

Temukan jawabannya di Jejak Kenanga 5!

*Cerita ini fiksi. Nama, tempat, dan peristiwa hanyalah imajinasi. Jika ada kesamaan, itu kebetulan belaka.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *