Diam-diam, suara Halimah menjadi peluru yang menembus lapisan dusta. Dengan bibir gemetar, ia mengungkap semuanya—tentang gadis-gadis yang dijanjikan mimpi, tapi dijual ke dalam neraka.
Tentang Maemunah, yang diperkosa, lalu dikirim ke tempat maksiat seperti barang tak berguna.
“Aku melihatnya sendiri…” bisik Halimah, air matanya jatuh. “Dia memperlakukannya seperti binatang…”
Kenanga menatap Hanafi—mata yang kini seperti bara neraka. “Kau dengar itu? Maemunah satu dari banyak gadis yang menjadi korban kebiadabanmu!.”
Hanafi tertawa getir. Tapi tawanya kering, tak punya pondasi. “Kalian cuma perempuan-perempuan tolol… omong kosong tak punya bukti.”
Dor!
Suara tembakan meledak memecah udara—satu peluru, satu keputusan, satu takdir. Darah menyembur, dan tubuh Hanafi rubuh perlahan seperti pohon busuk tumbang.
Di balik lemari, Maksum berdiri dengan pistol berasap. Wajahnya pucat, tapi tegas.
“Ini untuk Maemunah, adikku!” raungnya. “Untuk setiap gadis yang kau rusak, bangsat!”
Sementara tubuh Hanafi menggelepar dalam genangan darah, Maksum menunduk, suaranya berubah rendah. “Aku sudah mengumpulkan semua bukti. Aku tahu dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan aku tahu, hanya kau yang bisa menghancurkan mereka, Kenanga.”
Ia melangkah mendekat, menatap Kenanga dalam-dalam.
“BGS Fondation… itu nama mereka. Kedok amal. Tapi di dalamnya: Bagaspati. Mereka menjual manusia. Mengatasnamakan Tuhan.”
Kenanga menghela napas berat. “Apa hubunganmu dengan mereka?”
Maksum menarik napas panjang. “Aku akan ceritakan segalanya. Tapi tidak di sini… Tidak malam ini.”
Di luar, suara-suara mulai berdatangan. Waktu mereka terbatas.
“Kita harus pergi, sekarang.”
***
Di kejauhan, suara tembakan meledak memecah kesunyian malam—keras, tajam, seperti cambuk neraka yang merobek udara.
Lalu, jeritan… panjang dan menyayat, jeritan kematian yang menggema di tengah kegelapan seperti lolongan makhluk yang diseret keluar dari perut iblis.
Kenanga membeku. Maksum menggenggam pistolnya lebih erat. Halimah menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak.
“Apa itu…?” bisik Halimah, suaranya hampir tak terdengar, seperti nyanyian patah di tengah badai.
Sebelum ada yang sempat menjawab, suara tabrakan keras mengguncang malam—logam menghantam logam, kaca pecah berserakan, diikuti denting pelan yang mengerikan… seperti lonceng kematian berdentang dari jauh.
Di luar padepokan, Reno dan Puspita terpaku dalam mobil. Wajah mereka pucat pasi. Udara malam tiba-tiba menyesakkan, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata sedang mengintai, mendekat, dan siap menerkam.
Tak jauh dari sana, tiga SUV hitam terparkir dalam formasi mencurigakan di tengah jalan hutan. Mesin mereka mati, lampu menyala redup, dan sunyi melingkupi sekelilingnya. Tapi di dalam kabin mobil-mobil itu…
…mayat-mayat berserakan. Tubuh-tubuh membeku dengan mata terbuka, seakan mati dalam ketakutan.
Darah masih menetes dari pintu yang terbuka, membentuk pola-pola merah di tanah. Angka dan huruf di sisi mobil tergores jelas:
BGS Fondation
Siapa yang membantai mereka?
Apa yang mereka bawa?
Dan—lebih mengerikan—apa yang baru saja dilepaskan malam ini?
BERSAMBUNG!
DISCLAIMER: Cerita ini fiksi. Nama, tempat, dan peristiwa hanyalah imajinasi. Jika ada kesamaan, itu kebetulan belaka.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber yang disertakan.