Kisah, *  

MAKSIAT BERSELIMUT AYAT

Avatar photo

JEJAK KENANGA 3: MAKSIAT BERSELIMUT AYAT

Debu dan sarang laba-laba melekat di wajah Halimah, bercampur keringat dan air mata yang mengalir diam-diam. Nafasnya memburu, dada naik-turun tak beraturan.

Dari balik celah papan rumah panggung yang lapuk, matanya mengintai, menanti—atau mungkin ditunggu.

Langkah-langkah berat mengitari rumah. Suara sepatu menghantam papan kayu.

“Dia di sini…” suara serak laki-laki tua menyayat kesunyian malam.

“Endus terus,” timpal suara lain, lebih muda, dingin seperti bilah parang yang diseret.

Halimah menahan napas. Luka sobek di pahanya berdetak seperti nadi. Perihnya menusuk, tapi kepalanya tetap dingin.

Ini bukan sekadar pelarian. Ini tentang menjaga sesuatu. Sesuatu yang tak boleh jatuh ke tangan mereka.

Dari atas rumah panggung, suara parau meneriakkan perintah,

“Cari di bawah! Bakar kalau perlu!”

Langkah kaki semakin dekat. Kayu lantai berderit seperti mengaduh. Halimah menyatu dengan bayangan, tubuhnya memeluk tanah.

Tangannya meraba-raba dalam gelap. Lalu… sentuhan dingin. Sebilah pisau berkarat. Ditinggal waktu, dilupakan. Tapi malam ini—dipanggil kembali.

Celah papan menganga. Sepasang mata mengintip—mata yang menyala seperti bara di tengah gelap.

“Ketemu—”

Pisau melesat. Jeritan menggelegar. Tubuh tumbang menghantam tanah.

Empat sosok lainnya terdiam sejenak. Lalu kemarahan. Lalu takut.

Dan di tengah mereka, Halimah berdiri. Napasnya berat. Tubuhnya luka. Tapi matanya… menyala.

“Kalian pikir aku akan menyerah?” suaranya rendah, serak, seperti lolongan dendam.

“Kalian salah.”

Dan malam pun menjadi saksi. Gang-gang sempit berlumur bayangan dan darah. Lima sosok haus darah datang.

Tapi Halimah, dengan luka dan pisau, menari bersama maut. Malam itu, tak ada tempat untuk lemah. Hanya kebencian, dan kehendak untuk bertahan hidup.

***

Lorong markas intel itu sempit, pengap, dengan dinding retak yang seperti menyimpan bisikan.

Lampu temaram menggantung rendah, menggoyang pelan setiap kali angin dari ventilasi mendesis keluar, seolah napas terakhir dari rahasia yang terlalu lama disimpan.

Kenanga berdiri sendiri di depan kaca satu arah. Di baliknya, seorang pria kurus duduk tertunduk di kursi interogasi, tangannya diborgol, napasnya berat.

Matanya sembab, dan bibirnya pecah—tapi bukan karena disiksa. Ini luka dari penyesalan. Atau ketakutan.

“Dia anggota Bagaspati?” suara Bima muncul di belakang, berat dan datar.

Kenanga tak menoleh. “Tidak. Dia hanya kurir. Dan sekarang dia tahu terlalu banyak.”

Kinan mendekat, wajahnya muram. “Kita tidak bisa terus begini. Aku… aku tidak yakin siapa yang bisa kita percaya sekarang.”

Kenanga akhirnya berpaling, menatap kedua temannya. “Percayalah pada naluri kita. Kalau tidak, kita semua akan tenggelam dalam skenario mereka.”

Langkah sepatu terdengar dari ujung lorong. AKP Sulastri muncul lagi—jaket dinasnya rapi, tapi kancing atasnya terbuka. Wajahnya kaku. “Kalian akan dipindahkan malam ini.”

“Dipindahkan?” Bima mendekat, matanya menyipit.

“Ke rumah aman. Lokasi rahasia. Tidak ada komunikasi ke luar. Sampai operasi selesai.”

“Penjara dengan nama lain,” gumam Kenanga. Dia tertawa kecil—pahit, getir. “Sempurna.”

Sulastri menatap Kenanga lama, lalu bicara lirih, “Ini harga untuk keadilan. Kita semua membayarnya.”

Tapi Kenanga tahu. Harga itu tak pernah adil. Kadang, keadilan hanya topeng. Dan di baliknya, wajah-wajah seperti Bagaspati, seperti para perwira berwibawa, seperti… siapa pun yang merasa bisa mainkan hidup orang lain demi kemenangan politik atau strategi.

Ketika mereka bertiga berjalan di lorong gelap itu menuju mobil yang menunggu, hanya satu hal yang menggema di kepala Kenanga:

“Jika mereka pikir kami pion, mereka lupa… pion juga bisa membunuh raja.”

***

Sulastri melangkah mundur dengan berat hati, menyembunyikan keresahan di balik rautnya yang dingin.

Ia tahu, mulai detik ini, permainan berubah arah—dan ia bukan lagi pemain utama di atas papan.

Pemuda berjaket hitam itu berjalan pelan mengitari ruangan, matanya menyapu setiap sudut seolah mencatat segalanya.

Langkahnya hening, tapi setiap gerakannya menciptakan tekanan—seperti seseorang yang membawa badai di balik diamnya.

“Kasus Bagaspati lebih dalam dari yang Anda kira,” ucap pemuda itu, tanpa memandang siapa pun.

Suaranya datar, tak beremosi, tapi menusuk. “Ada simpul-simpul tua yang tak ingin dibuka. Jika kalian gegabah, darah akan membanjiri jalanan. Dan kali ini… bukan hanya darah kriminal.”

Surya Natanegara menatap Sulastri tanpa berkedip. “Dengar dia, Sulastri. Dia bukan siapa-siapa di sini, tapi dia tahu lebih banyak dari siapa pun yang pernah kita temui. Jika dia bilang sesuatu, kau dengar. Jangan lawan arah angin—atau kau akan hancur sebelum sempat melihat peta penuh permainan ini.”

Sulastri mengangguk perlahan, meski pikirannya berkecamuk. Ia adalah perempuan yang tumbuh di tengah kecurigaan dan kehati-hatian.

Tapi malam itu, intuisi lamanya berteriak—pemuda itu bukan hanya saksi, bukan juga sekutu. Ia adalah sesuatu yang lain.

Sebelum Sulastri beranjak keluar, pemuda itu berbicara sekali lagi, suaranya serupa desisan ular.

“Dan satu hal lagi, AKP Sulastri… Jangan percaya siapa pun. Bahkan bayanganmu sendiri.”

Sulastri keluar dari ruangan dengan langkah berat. Udara di luar seakan lebih dingin dari sebelumnya.

Ia tahu, dunia sedang berubah. Dan ia harus memilih: menjadi pelindung kebenaran, atau menjadi bagian dari kebohongan yang membusuk dari dalam.

***

Lorong menuju ruang tahanan itu lengang. Lampu gantung berkedip pelan seperti nafas terakhir nyala lilin.

Suara sepatu AKP Sulastri memantul di sepanjang dinding lembap yang dipenuhi retakan kecil.

Tangan kirinya menggenggam map, tangan kanannya tak lepas dari gagang pistol di pinggang.

Di ujung lorong, sebuah pintu besi menunggu, hitam dan dingin seperti rahasia yang dikubur dalam-dalam.

Di baliknya, Kenanga, Kinan, dan Bima masih dikurung, menunggu kepastian yang belum juga datang.

Sulastri berhenti sejenak, menarik napas dalam. Bayangan wajah pemuda berjaket hitam tadi melintas lagi di kepalanya, membuat tengkuknya kembali menggigil.

“Siapa kau sebenarnya?” gumamnya lirih, nyaris seperti doa yang putus di ujung lidah.

Pintu terbuka dengan suara decitan panjang.

Kenanga menoleh cepat. Matanya masih menyala seperti bara, tapi sorotnya lebih dingin kini. “Kami dibebaskan?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Status kalian tahan rumah,” jawab Sulastri, nadanya datar tapi tegas. “Kalian akan dikawal. Semua aktivitas akan dipantau. Jangan coba main api.”

Bima bangkit perlahan, matanya tajam menatap perwira itu. “Siapa yang menarik tali dalam bayang, Bu Sulastri? Kita sama-sama tahu ini bukan hanya soal Bagaspati.”

Sulastri menatap ketiganya satu per satu. “Kalian bukan anak kecil. Jangan berpura-pura bodoh. Apa pun yang kalian kejar, makin dalam kalian masuk, makin besar yang ingin menelan kalian hidup-hidup.”

Kinan memegang tangan Kenanga, suaranya pelan tapi tegas, “Kami tidak masuk ke dalam. Kami lahir di dalamnya.”

Diam sejenak. Lalu Sulastri menyibak map di tangannya, menarik tiga lembar kertas, tanda pembebasan. Ia menandatangani satu per satu, lalu menyerahkannya.

“Mulai malam ini, kalian bebas… dalam sangkar yang lebih besar,” katanya.

Tiba-tiba, dari arah lorong belakang, terdengar derit logam dan langkah ringan.

Sulastri menoleh cepat. Bayangan seseorang muncul sebentar—sekilas saja—lalu menghilang ke dalam gelap.

Kenanga mendekat. “Siapa itu?”

Sulastri terdiam. “Hanya… bayangan.”

Tapi mereka bertiga tahu, malam ini bukan sekadar tentang kebebasan. Ini awal dari sesuatu yang lebih dalam, lebih berbahaya, dan lebih tak terduga.

Dan di balik jeruji waktu dan kelam lorong, si pemuda berjaket hitam—si bayangan itu—mungkin sedang menyusun langkah berikutnya.

***

Langit mendung menggantung rendah, kelabu dan berat, seolah turut meratap dalam pemakaman yang sunyi. Angin malam berembus pelan, menyeret aroma tanah basah dan bunga kenanga liar yang tumbuh di sudut makam.

Suasana itu seperti beku dalam waktu—hanya bisikan dedaunan dan desau nafas yang terdengar.

Ambar berdiri terpaku di depan sebuah batu nisan sederhana. Tangannya yang keriput menyentuh pelan permukaan dingin marmer putih yang memuat nama suaminya: Irjen Anumerta Satya Negara bin Saka Negara.

Lelaki yang dulu menjadi tiang kekuatan keluarganya kini hanya tinggal nama yang diukir abadi di batu. Gugur dalam tugas. Meninggalkan lubang yang tak mungkin ditambal—bahkan oleh waktu.

Wajah Ambar pucat pasi. Tatapannya kosong, tenggelam dalam kabut Alzheimer yang menggerogoti kenangan, namun malam ini… semuanya terasa terlalu nyata. Terlalu menyakitkan.

“Kenanga… kenapa kau selalu bermain dengan api?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, seperti bisikan roh kepada malam. “Kenapa harus kau yang memikul bara itu?”

Air mata mengalir perlahan, membasahi pipi tuanya yang telah dihiasi garis-garis usia. Setiap tetes adalah serpihan duka, membentuk luka baru dari kenangan yang lama.

Dari kejauhan, Puspita berjalan mendekat sambil menggenggam payung hitam. Gerimis tipis membasahi bahunya, namun ia tak peduli.

Tatapannya tak lepas dari sosok ibunya yang rapuh di tengah taman makam itu. Ia merasakan guncangan dalam dirinya—antara ingin memeluk, atau membiarkan ibunya larut dalam kehilangan yang hanya bisa dimengerti oleh dua hati yang pernah saling mencinta begitu dalam.

“Bu… sabar ya.” Suaranya lirih, nyaris seperti doa. “Kenanga itu kuat. Percayakan semuanya pada AKP Sulastri. Mereka akan menuntaskan ini.”

Ambar perlahan menoleh. Matanya basah, tatapannya jauh, seperti sedang berbicara pada hantu masa lalu. “Satya… kau didik dia terlalu keras. Kau ingin dia jadi baja. Tapi lihat sekarang… dia terlalu kuat untuk menghindari luka. Dia terbakar… seperti kau.”

Suaranya pecah, bergetar di udara dingin yang enggan bergerak. Kata-katanya seperti pecahan cermin—tajam, berserakan, memantulkan kepedihan yang tak bisa dirapikan.

Puspita merapatkan jaketnya, mencoba menahan dingin yang berasal bukan hanya dari cuaca, tapi dari ketakutan yang perlahan merayap ke jantungnya. “Bu… jangan salahkan Ayah. Kenanga jadi seperti ini bukan karena didikan keras. Tapi karena cinta. Karena tanggung jawab. Dia ingin melindungi kita… bahkan ketika itu menghancurkannya perlahan.”

Ambar kembali memandang nisan itu, lama, diam. Bunga kenanga liar di sekitar makam menari-nari pelan, seakan membisikkan sesuatu yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang kehilangan.

Dan malam itu, di antara aroma kenanga, tanah basah, dan rasa takut yang menusuk tulang—seorang ibu berdiri dalam duka yang belum selesai. Duka yang bernama Kenanga.

***

Ruangan itu luas, namun atmosfernya terasa pengap, seperti dada yang menahan napas terlalu lama. Udara tak bergerak, seolah pun enggan bersaksi atas apa yang dibicarakan di dalamnya.

Dinding-dindingnya dihiasi kaligrafi berlapis emas yang dipahat dengan presisi—bukan sekadar hiasan, tapi mantra yang mengintai.

Lampu gantung temaram berayun perlahan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak seperti makhluk hidup yang menari di antara ruang dan gelap.

Enam lelaki bersorban hitam duduk membentuk lingkaran. Gamis mereka menyatu dengan lantai, menciptakan siluet seolah mereka tumbuh dari kegelapan itu sendiri.

Di tengah mereka, Ustaz Hanafi Al Mubarok duduk bersila, tubuhnya tegak, wajahnya putih nyaris pucat seperti batu pualam.

Dari jemari lentiknya, tasbih besar berputar perlahan, suara gesekannya halus, tapi menyayat, seperti bisikan rahasia dari balik dunia lain.

“Iman bukan sekadar pelindung,” ucapnya pelan, suaranya dalam dan tenang, bergema di seluruh ruang. “Ia adalah senjata. Dan dengan senjata ini, kita menantang dunia… membakar tatanan yang busuk, demi kemurnian yang lebih tinggi.”

Semua lelaki menunduk khidmat. Tak satu pun berani mengganggu sunyi yang tercipta setelah kata-kata itu. Kecuali Maksum.

Maksum duduk agak ke pinggir, tubuhnya kaku seperti tersiksa. Sorot matanya gelap, bukan karena tak mengerti, tapi karena terlalu mengerti.

Kata-kata Ustaz Hanafi terlalu manis, terlalu indah… dan justru karena itulah, terasa salah. Sesuatu menggeliat di dalam dirinya—bukan keyakinan, melainkan firasat.

Bahwa mereka tidak sedang berada di lingkaran keimanan… tapi dalam upacara gelap yang diselimuti dalih kebenaran.

Jantungnya berdetak keras saat udara di ruangan berubah. Lalu—

BRAKKK!

Pintu terbanting terbuka.

Munadi masuk dengan langkah tak teratur, napasnya memburu, wajahnya basah oleh peluh dan kepanikan.

“Ustaz… Halimah… dia lolos…” katanya dengan suara parau, nyaris seperti bisikan yang tertelan angin malam. “Dia melompat ke kali… arus deras… kami kehilangan jejak.”

Ruangan itu membeku.

Tasbih di tangan Ustaz Hanafi berhenti berputar. Butirannya saling bergesekan dengan suara krak yang mencabik sunyi.

Ia menatap Munadi. Tatapan dingin seperti kutub utara. “Lalu?” ucapnya singkat, pelan… tapi membuat seluruh tubuh Munadi gemetar.

Munadi menunduk lebih dalam, seperti hendak menghilang ke lantai. “Kami sedang menyisir sepanjang aliran… tapi kemungkinan besar dia…”

“Diam,” potong Hanafi, masih dengan nada rendah, tapi matanya membakar. Keenam lelaki lainnya menoleh hampir bersamaan, mata mereka menyala seperti binatang malam yang mencium bau darah.

Dalam hening itu, hanya jantung Maksum yang terasa memekakkan telinga. Ia tahu, malam ini ada garis yang sedang dilintasi. Dan sekali menyeberang, tak akan ada jalan kembali.

Ustaz Hanafi tiba-tiba tersenyum. Senyumnya dingin. Bukan milik manusia.

“Halimah tidak akan bisa kabur selamanya,” gumamnya. “Jika air tidak menelannya, maka waktu akan. Dan waktu… selalu berpihak pada yang sabar.”

Dan malam pun kembali sunyi. Tapi sunyi yang lain—sunyi yang menyerupai janji kematian.

***

Malam menggantung pekat di langit, seolah enggan memberi ruang bagi cahaya. Kabut tipis menari di tepian sungai, membelai lampu jalan yang temaram, menciptakan bayangan seperti roh gentayangan.

Di antara kabut itu, seorang pemuda bertubuh tegap berjalan mantap, jaket kulit hitamnya tampak seperti bagian dari kegelapan.

Di pelukannya, seorang gadis bergamis merah marun terkulai, basah kuyup, wajahnya pucat, tubuhnya dingin seperti mayat yang baru saja diselamatkan dari kematian.

Langkah pemuda itu menjejak tanah becek tanpa ragu. Air dari pakaian Halimah menetes, menyatu dengan lumpur, seperti sisa-sisa tragedi yang belum selesai.

Ia membawa gadis itu ke sebuah ruang sempit di dekat pemukiman tua, tempat di mana dindingnya lembap dan lampunya menggantung redup, berayun perlahan ditiup angin malam.

Saat Halimah membuka matanya, napasnya tersengal, dan sorot matanya dipenuhi ketakutan. “Siapa kamu?!” suaranya pecah, lemah namun menusuk.

Pemuda itu tak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya, dalam dan tenang, seperti samudra yang menyimpan ribuan bangkai kapal.

“Kau seharusnya mati di sungai itu,” katanya akhirnya, datar namun bukan tanpa empati. “Tapi kau tidak mati. Mungkin itu pertanda.”

Halimah terdiam, napasnya pendek. Perlahan, ia menceritakan—dengan suara yang nyaris seperti bisikan—tentang malam yang memburunya, tentang lima lelaki berkopiah yang mengejarnya seperti pemburu haus darah, tentang lompatan ke sungai sebagai jalan terakhir melarikan diri dari neraka yang tak terlihat.

Pemuda itu mendengarkan tanpa berkedip, tatapannya tak berubah, namun otot rahangnya mengeras.

Setelah Halimah menyelesaikan kisahnya, ia membawanya keluar dari tempat itu. Langkah mereka tenang, namun di bawah permukaannya, dunia seolah menahan napas.

Di depan sebuah rumah sederhana, pemuda itu menurunkan tubuh Halimah dengan lembut. Jemarinya yang dingin membuka ponsel, mengetik cepat:

“Terima gadis itu. Gali yang perlu. Jangan tanya siapa aku.”

Lalu, ia menghilang ke kegelapan, seperti mimpi buruk yang enggan berpamitan.

***

Kenanga tergagap saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan, tanpa nama pengirim, hanya kata-kata pendek yang membuat dadanya menegang. Ia membuka pintu.

Tubuh Halimah tergeletak di sana, basah, gemetar, seperti kutukan yang dikirim malam.

Di ruang tamu, Halimah kini duduk berselimutkan keheningan. Teh panas mengepul, tapi tangannya terlalu dingin untuk merasakannya.

Reno dan Puspita duduk tegang. Kenanga berdiri, matanya menyala seperti bara dalam gelap.

“Apa yang terjadi padamu?” tanyanya tajam, bukan karena tidak peduli, tetapi karena ingin mengerti secepat mungkin.

Halimah mulai bercerita. Tentang perburuan. Tentang lima bayangan. Tentang lompatan ke sungai, dan laki-laki misterius yang menyelamatkannya.

“Bangsat!” Kenanga melempar ponsel ke sofa. Suaranya pecah, tubuhnya bergetar. “Pakai agama untuk nyalurin kebinatangan… Setan-setan itu nggak layak hidup!”

Reno meneguk ludah. Puspita menatap Halimah, syok dan iba bercampur. Tapi tidak ada yang bicara. Mereka tahu, badai baru saja mulai.

Kenanga meraih ponselnya lagi, menekan nomor Kinan.

“Bang Kinan. Dengar. Halimah… dia tahu banyak hal. Dan ini… ini lebih busuk dari yang kita duga. Kita harus bertindak. Sekarang.”

Di seberang sana, suara Kinan terdengar dingin dan pelan. Sebuah nada yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

Dan di luar sana, dalam bayangan pohon besar yang mengawasi rumah itu, pemuda berjaket hitam berdiri tak bergerak.

Matanya tajam. Tidak puas. Tidak tenang. Ia tahu Halimah selamat. Tapi keselamatan adalah ilusi. Dan malam ini, terlalu banyak rahasia untuk dibiarkan tetap tertidur.

***

Hanafi Al Mubarok terbangun dengan tubuh menegang, napas tersengal-sengal seolah baru saja keluar dari mimpi yang menjerat lehernya.

Keringat dingin membasahi wajah pucatnya, menetes dari pelipis ke leher, saat pandangannya tertuju pada layar ponsel yang bergetar nyaring di meja.

Nama Bagaspati muncul dengan huruf merah menyala, seperti bara yang membakar dada. Detak jantungnya bergemuruh, irama perang yang membangunkan segala ketakutan.

Ia menarik napas panjang, berusaha menstabilkan tubuh yang gemetar, lalu mengangkat telepon dengan jemari yang dingin.

“Mustar!” suara dari seberang membakar seperti cambuk. “Bangun! Lu pikir lu bisa enak-enakan tidur sama gundik-gundik lu?! Mana Halimah?! Kenapa dia belum sampe?!”

Hanafi, atau nama lamanya—Mustar—terdiam. Ketakutan menelan lidahnya. Ia melirik dua perempuan muda yang kini bangun, tubuh mereka diselimuti kain sutra tipis, mata mereka buram, bingung. Ketegangan di udara membuat malam terasa lebih sempit.

“P—pak… saya akan urus… Sekarang. Cuma kendala kecil. Malam ini… selesai,” katanya lirih, seperti bisikan tikus dalam sarang ular.

“Janji apa?!” hardik Bagaspati, raungannya mengiris udara. “Lu bikin gue turun tangan sendiri, Mustar… gue pastiin lu bakal gue kubur bareng jubah ustaz lu itu!”

Belum sempat Hanafi menjawab, ketukan keras membelah malam.

DUG! DUG! DUG!

Suara panik dari luar pintu: “Pak Ustaz! Ada perempuan… dia nyerang orang-orang kita! Dia… nyari Anda!”

Tubuh Hanafi tegang. Bukan karena takut—tapi karena kemarahan yang menggelegak seperti lava di perut bumi.

“Siapa?” suaranya pelan, nyaris berbisik, namun setajam pisau cukur.

Tidak ada jawaban pasti. Hanya ketukan panik, suara yang bergetar karena rasa takut.

Sementara itu…

Di balik hutan yang membekap padepokan dengan gelapnya, Kenanga menjebol pintu dengan hantaman tunggal.

Suara pintu terhempas menggema, meretakkan kesunyian malam. Matanya membara. Nafasnya berat. Ia tak datang untuk bertanya. Ia datang untuk menghakimi.

Dua lelaki berseragam hitam mencoba menghalangi—satu dihantam tepat di rahang, membuat tubuhnya terpental ke dinding; yang satu lagi dihajar tendangan telak ke dada, jatuh mencium lantai dengan bunyi nyaring tulang yang retak. Mereka tak punya waktu untuk menyesali.

Langkah Kenanga terus maju, gemanya membentur tembok batu padepokan, menciptakan irama yang tak manusiawi—langkah malaikat penghukum.

Matanya menyapu ruangan, mencari wajah yang selama ini bersembunyi di balik jubah dan sabda.

Di luar, di dalam mobil yang terparkir di balik semak-semak, Reno dan Puspita menatap dengan cemas. Halimah duduk di antara mereka, tubuhnya berguncang, wajahnya membeku dalam ketakutan.

Tatapan mereka terarah ke bangunan itu—tempat Kenanga kini bertempur dengan luka-luka masa lalu dan bara dendam yang tak padam.

Dan dari balik bayang-bayang…

Dia.

Pemuda berjaket hitam berdiri di bawah pohon beringin tua, tubuhnya dibalut kegelapan. Matanya tajam, headset kecil tertempel di telinga. Suaranya datar, tanpa emosi:

“Semuanya terkendali. Pantau jalur keluar. Jangan ada celah.”

Tangannya menggeser senjata kecil di balik jaket. Sorot matanya tak lepas dari bangunan itu. Ia tahu, malam ini darah mungkin tumpah.

Tapi ada satu hal yang lebih penting: memastikan bahwa kebenaran dan kebiadaban tidak lagi memakai jubah yang sama.

***

Aula itu sunyi. Hening seperti makam yang menanti pelayat. Lampu gantung di langit-langit memancarkan cahaya kekuningan yang temaram, melemparkan bayangan panjang ke lantai batu yang dingin dan tak bersahabat.

Suasana menegang. Dingin menusuk tulang, bukan karena suhu, melainkan karena aura kematian yang menggantung.

Kenanga berdiri tegak di tengah ruangan, tubuhnya siaga, napasnya perlahan. Matanya menyapu ruangan—tajam, waspada.

Di hadapannya, lima lelaki melangkah maju dalam formasi setengah lingkaran. Tatapan mereka meremehkan, bibir mereka melengkung dalam senyum congkak yang menantang maut.

“Lihat betina ini,” cibir salah satu, meludahi lantai. “Sok jagoan.”

Yang lain berseru dengan suara lengket seperti lendir, “Ayo, manis. Menyerah saja. Kami tidak ingin meninggalkan bekas di wajah cantikmu.”

Langkah mereka semakin dekat. Lalu—tanpa aba-aba—pukulan pertama meluncur dari sisi kiri. “Rasakan ini, jalang!” Lelaki itu mengayun tangan kasar ke arah pipi Kenanga.

Kenanga bergerak seperti bayangan. Ia memutar tubuh, menghindar sepersekian detik sebelum sikunya menghantam rahang lawannya. Bunyi krek tulang retak menggema singkat. Lelaki itu terhempas ke lantai, menggeliat dalam nyeri, mulutnya mengalir darah.

“Sialan!” pekik yang lain sambil menerjang dengan tendangan lurus ke arah perut. Tapi Kenanga sudah membungkuk rendah, menyapu kaki si penyerang hingga tubuhnya terguling, terbanting keras. Gedebuk!

Tiga lainnya maju bersamaan. Nafas Kenanga terkontrol. Satu lawan banyak bukan hal baru baginya—ini hanya medan lain, dengan dosa yang lebih kental. Pukulan diluncurkan ke arahnya, keras dan brutal, tapi Kenanga menari di antara mereka, tangannya menghajar perut, siku, leher.

Satu lelaki terkapar dengan darah mengalir dari hidung, yang lain terbatuk keras setelah tulang dadanya dihantam lutut.

Keheningan itu kembali. Hanya suara napas dan keluhan luka yang mengisi ruangan.

Lalu, dari bayang-bayang lorong, tiga sosok melangkah perlahan: Rukhman. Jawal. Muntako.

Tak ada senyum di wajah mereka. Tak ada cemooh. Mereka datang sebagai eksekutor, bukan provokator.

“Cukup main-mainnya,” gumam Rukhman, suaranya datar, tajam seperti bayonet. “Sekarang giliran kami.”

Tanpa basa-basi, Rukhman menerjang. Tinju kirinya cepat, mengarah ke wajah. Kenanga menghindar, tetapi dari belakang, Jawal muncul dengan tendangan berputar ke arah rusuk.

Bughh!—kena. Kenanga terlempar setengah langkah, nyeri merayap naik ke lengannya.

Muntako tak membuang waktu. Ia melayang dengan tendangan tinggi. “Mampus kau!” serunya. Kenanga menunduk, nyaris tersabet tumit maut itu.

Tubuhnya berdenyut. Napasnya berat. Tapi pikirannya tetap dingin. Ia mengingat pertarungan melawan pembunuh bayaran Bagaspati—rasa takut tak akan menyelamatkan siapa pun.

Ia balas menyerang. Tinju ke bahu Rukhman—keras dan dalam. Lawan itu terhuyung.

Jawal datang lagi, kakinya menghantam. Tapi Kenanga menangkap pergelangan itu, memutarnya dengan kekuatan penuh—brak!—tubuh Jawal menghantam lantai, bahunya menghantam batu dengan suara yang mengerikan.

Muntako maju, teriakannya liar. “Selesai kau!” Tapi Kenanga menghindar ke kanan, lalu mengayunkan sisi telapak tangan ke tenggorokannya. Lelaki itu mengerang, tercekik, terjatuh sambil memegangi leher.

Rukhman masih berdiri. Luka di pelipisnya berdarah, tapi matanya menyala penuh dendam. Ia melompat maju untuk serangan terakhir.

“Kau akan mati di sini!”

Kenanga berputar cepat, tangannya menghantam pelipis Rukhman dengan kekuatan yang terkumpul dari semua amarah, kehilangan, dan tekadnya.

DUGHH!

Tubuh Rukhman limbung. Lalu jatuh. Tak bergerak.

Semua hening.

Kenanga berdiri di tengah ruangan yang kini penuh tubuh tergeletak. Napasnya berat. Darah di sudut bibirnya. Tapi matanya masih menyala. Tidak sebagai korban. Tapi sebagai ancaman terakhir.

“Siapa selanjutnya?” bisiknya, suara rendah itu bergema di aula batu. Dan tak seorang pun menjawab.

***

Rumah utama pimpinan Al Mubarok terbungkus keheningan yang tak wajar, seperti napas terakhir sebelum ajal tiba.

Lampu gantung tua bergoyang pelan, memantulkan cahaya kekuningan yang menari di dinding batu—seolah roh-roh gentayangan menunggu giliran untuk berbicara.

Kenanga berdiri di ambang pintu yang baru saja didobraknya. Ruangan itu dipenuhi aura kematian.

Di dalam, Hanafi—alias Mustar—berdiri dengan tubuh menegang, pistol di tangannya mengarah pada seorang gadis muda yang menggigil ketakutan di sudut ruangan.

“Siapa kau? Kau pikir bisa membunuhku, hah?” Hanafi mendesis, suaranya menyayat seperti ular. “Aku ini ustaz! Orang yang dihormati!”

Kenanga melangkah masuk, cahaya menyapu wajahnya yang dingin. “Orang suci? Hah.” Ia menyeringai getir. “Kau lebih pantas disebut iblis maksiat yang berselmut ayat-ayat.”

Dari balik bayangan gelap di belakang Hanafi, sosok Halimah perlahan muncul. Wajahnya pias, tapi sorot matanya mengandung bara. “Itu benar, Kenanga…” ucapnya pelan namun jelas. “Dia bukan ustaz. Dia monster.”

Diam-diam, suara Halimah menjadi peluru yang menembus lapisan dusta. Dengan bibir gemetar, ia mengungkap semuanya—tentang gadis-gadis yang dijanjikan mimpi, tapi dijual ke dalam neraka.

Tentang Maemunah, yang diperkosa, lalu dikirim ke tempat maksiat seperti barang tak berguna.

“Aku melihatnya sendiri…” bisik Halimah, air matanya jatuh. “Dia memperlakukannya seperti binatang…”

Kenanga menatap Hanafi—mata yang kini seperti bara neraka. “Kau dengar itu? Maemunah satu dari banyak gadis yang menjadi korban kebiadabanmu!.”

Hanafi tertawa getir. Tapi tawanya kering, tak punya pondasi. “Kalian cuma perempuan-perempuan tolol… omong kosong tak punya bukti.”

Dor!

Suara tembakan meledak memecah udara—satu peluru, satu keputusan, satu takdir. Darah menyembur, dan tubuh Hanafi rubuh perlahan seperti pohon busuk tumbang.

Di balik lemari, Maksum berdiri dengan pistol berasap. Wajahnya pucat, tapi tegas.

“Ini untuk Maemunah, adikku!” raungnya. “Untuk setiap gadis yang kau rusak, bangsat!”

Sementara tubuh Hanafi menggelepar dalam genangan darah, Maksum menunduk, suaranya berubah rendah. “Aku sudah mengumpulkan semua bukti. Aku tahu dia bagian dari sesuatu yang lebih besar. Dan aku tahu, hanya kau yang bisa menghancurkan mereka, Kenanga.”

Ia melangkah mendekat, menatap Kenanga dalam-dalam.

“BGS Fondation… itu nama mereka. Kedok amal. Tapi di dalamnya: Bagaspati. Mereka menjual manusia. Mengatasnamakan Tuhan.”

Kenanga menghela napas berat. “Apa hubunganmu dengan mereka?”

Maksum menarik napas panjang. “Aku akan ceritakan segalanya. Tapi tidak di sini… Tidak malam ini.”

Di luar, suara-suara mulai berdatangan. Waktu mereka terbatas.

“Kita harus pergi, sekarang.”

***

Di kejauhan, suara tembakan meledak memecah kesunyian malam—keras, tajam, seperti cambuk neraka yang merobek udara.

Lalu, jeritan… panjang dan menyayat, jeritan kematian yang menggema di tengah kegelapan seperti lolongan makhluk yang diseret keluar dari perut iblis.

Kenanga membeku. Maksum menggenggam pistolnya lebih erat. Halimah menutup mulutnya dengan tangan, matanya membelalak.

“Apa itu…?” bisik Halimah, suaranya hampir tak terdengar, seperti nyanyian patah di tengah badai.

Sebelum ada yang sempat menjawab, suara tabrakan keras mengguncang malam—logam menghantam logam, kaca pecah berserakan, diikuti denting pelan yang mengerikan… seperti lonceng kematian berdentang dari jauh.

Di luar padepokan, Reno dan Puspita terpaku dalam mobil. Wajah mereka pucat pasi. Udara malam tiba-tiba menyesakkan, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata sedang mengintai, mendekat, dan siap menerkam.

Tak jauh dari sana, tiga SUV hitam terparkir dalam formasi mencurigakan di tengah jalan hutan. Mesin mereka mati, lampu menyala redup, dan sunyi melingkupi sekelilingnya. Tapi di dalam kabin mobil-mobil itu…

…mayat-mayat berserakan. Tubuh-tubuh membeku dengan mata terbuka, seakan mati dalam ketakutan.

Darah masih menetes dari pintu yang terbuka, membentuk pola-pola merah di tanah. Angka dan huruf di sisi mobil tergores jelas:

BGS Fondation

Siapa yang membantai mereka?

Apa yang mereka bawa?

Dan—lebih mengerikan—apa yang baru saja dilepaskan malam ini?

BERSAMBUNG!

DISCLAIMER: Cerita ini fiksi. Nama, tempat, dan peristiwa hanyalah imajinasi. Jika ada kesamaan, itu kebetulan belaka.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *