JEJAK KENANGA 5: LIMA LELAKI BERTOPENG
Detik jam terdengar nyaring, berdetak di lorong rumah sakit yang hening seperti nisan.
Pukul 02.13 dini hari. Kota terbenam dalam kelam yang nyaris sempurna.
Langit tanpa bintang, jendela berkabut, dan lampu jalan di luar berkedip malas seperti nyawa yang enggan bertahan.
Di sudut ruang tunggu, dua sosok duduk kaku.
Puspita. Reno.
Mata mereka terpaku pada satu titik—pintu kamar perawatan 306.
Tempat di mana Ambar, ibu Kenanga, seharusnya terbaring dalam tidur panjang yang rawan dan rapuh.
Tak ada yang bicara. Keheningan menebal, menggantung seperti tali.
Lalu, bayangan datang.
Lima lelaki bertopeng muncul dari gelap.
Tanpa suara. Tanpa langkah.
Gerakan mereka seperti angin malam—cepat, presisi, berbahaya. Dalam hitungan detik, mereka sudah mengepung Puspita dan Reno.
Tak ada aba-aba. Tak ada kompromi.
DOR!
Tembakan senapan listrik menghantam Reno.
Tubuhnya tersentak, lalu rubuh. Senyap.
Puspita bangkit dengan panik, tapi satu tangan kasar lebih cepat—menarik, membanting, menghantamkan kepalanya ke meja kecil.
Sebuah erangan. Lalu sunyi.
Lelaki-lelaki itu tidak berhenti.
Mereka meluncur ke ruang kontrol keamanan, mengunci dua petugas dengan pukulan senyap.
Satu dari mereka—datar, tanpa emosi—mengendalikan sistem rumah sakit.
Satu gesekan di layar.
CCTV mati. Alarm darurat dibisukan. Komunikasi terputus.
Dalam satu kedipan, rumah sakit berubah menjadi makam bisu.
Misi mereka hanya satu: Ambar.
Langkah mereka menuju kamar 306 nyaris tak meninggalkan jejak.
Pintu dibuka pelan, suara engsel tertahan.
Cahaya temaram menyoroti ranjang. Sosok wanita tua terbaring, tubuhnya rapuh, terhubung infus.
Lelaki bertopeng ketiga maju. Di tangannya—sebuah suntikan kecil, cairan tak bernama mengendap di dalamnya.
Ia membungkuk, mendekati selang infus. Tangannya tenang. Tanpa ragu.
Tapi sesuatu menahan mereka.
Lelaki di depan memberi isyarat—angkat tangan, mata menyipit.
Ada yang tidak beres.
Dan saat mereka menoleh ke ranjang…
Mata yang seharusnya terpejam, terbuka. Penuh nyala.
Itu bukan Ambar.
Itu Kenanga.
Tubuhnya melesat, satu gerakan tajam.
Pisau bedah di meja diayunkan, mencabik lengan lelaki terdekat.
Darah muncrat—hangat, merah, membasahi dinding putih.
Kekacauan dimulai.
Satu lelaki bertopeng menarik pistol—terlambat.
Kenanga meloncat dari ranjang, kakinya menghantam dada pria itu, menjatuhkannya.
Alarm manual meraung.
Langkah-langkah mendekat dari kejauhan.
Mereka kehabisan waktu.
Lelaki ketiga menyerang—kesalahan fatal.
Kenanga menangkap gerakannya, memelintir pergelangan, membantingnya keras ke lantai.
Sebuah pistol terlepas, menghantam lantai—DOR!—peluru nyasar menembus dinding.
Lampu darurat menyala. Merah. Menyiram ruangan seperti peringatan akhir dunia.
Kenanga berdiri tegak. Napas memburu.
Matanya menyala, bukan karena takut—tapi amarah yang membakar dingin.
Para lelaki bertopeng mundur. Terpukul.
Mereka tahu: mereka kalah. Misi gagal.
Dalam panik, mereka kabur.
Meninggalkan tubuh Reno yang tak bergerak.
Puspita yang terkulai.
Dan jejak darah yang menceritakan lebih banyak dari seribu laporan.
Kenanga mengepalkan tangan.
Mereka mengincar ibunya.
Dan malam itu, ia bersumpah dalam diam:
Tak akan ada lagi yang menyentuh Ambar—tanpa harus menebusnya dengan nyawa.
*
Lampu jalan menyusup lewat kaca jendela, memantul di lantai kusam ruang interogasi. Waktu merambat lambat. Tak ada suara selain detik jam tua di dinding.
Dua orang duduk berhadapan.
Satu perempuan. Satunya lagi laki-laki.
AKP Sulastri tidak banyak bicara. Matanya menatap tajam, menusuk ke balik daging, mencari kebenaran yang bersembunyi di balik wajah letih anak buahnya.
Andrian tampak tegang.
Tangan kirinya menggenggam, nyaris tak sadar. Dingin meja baja menembus telapak. Keringat tipis menyusup di pelipis, tapi ia tetap diam. Matanya menghindar.
“Kau tahu kenapa kau di sini,” kata Sulastri.
Pelan. Datar. Tak perlu ancaman.
Andrian tak menjawab. Napasnya berat, tapi tertahan. Kursinya berderit halus ketika ia bergeser sedikit, gugup.
“Telepon itu. Kau angkat.”
Nada Sulastri mengeras.
“Seseorang menyuruhmu membunuh saksi kunci kasus Kurnia Praja. Siapa dia?”
Masih tak ada suara.
Hening seperti kematian.
Sulastri mengangkat tangannya. Sekejap. Telapak tangannya menghantam meja. Suara besi menggema—pendek, tapi cukup memecah nyali.
“Jawab, Andrian. Ini soal nyawa manusia.”
Andrian terkejut. Matanya berkedip cepat. Tapi mulutnya tetap terkunci.
Sulastri menghela napas. Ia duduk kembali, lebih dekat.
“Kau takut.”
Matanya dingin, tapi nadanya turun.
“Tapi aku tahu kau bukan pengecut.”
Diam.
“Dengarkan baik-baik.”
Suara Sulastri berubah jadi bisikan yang menggigit.
“Kalau kau terus diam… aku tidak bisa jamin keluargamu tetap aman.”
Andrian mengangkat wajahnya.
Pucat.
Bibirnya bergetar. Suaranya hampir tak terdengar.
“Kau… tak akan menyentuh mereka, bukan?”
Sulastri tak menjawab. Ia hanya menatap, dalam dan keras. Lalu perlahan bersandar.
“Aku tidak akan.”
“Tapi mereka sudah dalam bahaya, Andrian.”
“Dan satu-satunya yang bisa menghentikan ini… adalah kau.”
Sunyi lagi.
Andrian memejamkan mata. Lama. Lalu tangannya bergerak ke saku jas. Pelan.
Satu benda kecil dikeluarkan—sebuah flash drive. Ia letakkan di atas meja, nyaris tanpa suara.
“Aku merekamnya,” bisiknya.
“Waktu mereka menelepon. Aku tahu aku akan dibuang cepat atau lambat.”
Sulastri mengambil flash drive itu.
Diperhatikannya sejenak.
Kemudian pandangannya kembali tertuju pada Andrian.
“Siapa?” tanyanya.
Satu kata. Berat seperti vonis.
Andrian menelan ludah. Bibirnya gemetar. Tapi ia bicara.
“Orang dalam pemerintahan.”
“Orang dekat Kurnia Praja.”
Sulastri diam.
Sorot matanya tidak berubah. Tapi di dalamnya, sesuatu bergeser.
Ini… lebih dalam dari yang ia duga.
**
Suara beep lembut dari patient monitor mengisi ruangan, bersahut-sahutan dengan desiran samar dari alat bantu pernapasan. Di balik tirai putih tipis, tubuh Ambar terbaring tak bergerak.
Wajahnya pucat, dibingkai rambut yang kini kusut dan lemah. Tabung infus tergantung, dan selang-selang medis menyatu dengan tubuhnya, seolah berusaha mempertahankan sisa-sisa hidup yang nyaris direnggut malam itu.
Kenanga berdiri di sisi ranjang. Tubuhnya diam, tapi matanya penuh badai. Reno duduk tak jauh, bersandar lemah pada kursi dengan bekas luka merah samar di lehernya.
Puspita bersandar pada dinding, lengan menyilang, tatapannya terpaku pada lantai—berusaha mengatur napas, menenangkan gemetar yang belum sepenuhnya hilang.
Tak ada yang bicara. Sunyi menggantung seperti awan hitam sebelum hujan.
Kenanga memecahnya. Suaranya pelan, nyaris tanpa emosi.
“Mereka masuk ke sini… dengan maksud membunuh seseorang yang tak bisa bergerak, bahkan tak bisa membuka mata.”
Reno melirik, wajahnya masih letih. “Kau yakin itu Bagaspati?”
“Siapa lagi yang punya cukup kuasa untuk mengatur lima orang profesional, menonaktifkan sistem rumah sakit, dan tahu posisi tepat kamar ibu?”
Puspita menarik napas. “Kalau benar Bagaspati, berarti ini bukan sekadar sisa dari kasus Kurnia Praja. Ini… sesuatu yang lebih besar.”
Kenanga menatap ibunya, matanya tak berkedip. “Ada sesuatu yang disimpan ibu. Sesuatu yang membuat mereka takut kalau dia bangun.”
Langkah kaki mendekat. Pintu terbuka.
dr. Indrayana masuk. Wajahnya lelah, tetapi gerakannya tetap mantap. Ia memandang mereka satu per satu sebelum akhirnya bicara.
“Saya harus minta kalian keluar dari ruangan ini. Kami perlu menstabilkan kondisi Bu Ambar. Pemantauan akan lebih intensif mulai sekarang.”
Kenanga berbalik cepat. “Dia stabil, kan?”
“Untuk sementara. Tapi tekanan darahnya fluktuatif. Trauma neurologisnya cukup berat. Kami tidak tahu dampaknya saat dia sadar nanti—jika dia sadar.”
Puspita menunduk. Reno memejamkan mata. Kenanga tidak bereaksi.
“Baik,” katanya akhirnya.
Mereka bertiga meninggalkan ruangan perlahan, seolah ada bagian dari diri mereka yang tertinggal di dalam. Kenanga menatap ibunya sekali lagi sebelum pintu tertutup di belakangnya.
Ruang kerja dr. Indrayana tak terlalu besar, tapi rapi. Tumpukan berkas medis tertata di rak, aroma disinfektan bercampur dengan wangi kopi basi di udara. Lampu gantung redup menerangi meja kayu yang penuh coretan.
“Yang terjadi semalam bukan sekadar penyerangan biasa,” ujar dr. Indrayana, duduk di balik mejanya. “Mereka menarget Ambar secara langsung. Dan sistem rumah sakit kami… benar-benar dijebol dari dalam.”
Reno mengerutkan alis. “Orang dalam?”
Indrayana mengangguk pelan. “Kemungkinan besar. Tidak ada polisi yang datang meski alarm darurat sempat aktif. Komunikasi rumah sakit dibungkam sepenuhnya selama dua jam.”
Kenanga bersandar di kursinya. Rahangnya mengeras.
“Mereka mau pastikan tidak ada yang menyentuh saksi terakhir dari kasus itu. Kalau perlu, mereka buat ibuku jadi mayat tanpa suara.”
Puspita menatapnya lekat-lekat. “Apa rencanamu?”
“Aku akan membuat mereka bicara.” Suara Kenanga datar, nyaris dingin. “Satu per satu. Tak peduli seberapa tinggi mereka berdiri atau seberapa dalam mereka sembunyi.”
Indrayana menyilangkan jari di atas meja. “Kalau kau ingin menempuh jalan ini, lakukan dengan kepala dingin. Bukan sebagai anak yang ingin membalas. Tapi sebagai orang yang tahu apa artinya kebenaran.”
Kenanga berdiri perlahan, wajahnya bayangan dari tekad yang bulat.
“Aku tidak akan bertindak gegabah.”
Ia menatap lurus ke depan, matanya menyalak.
“Tapi aku juga tidak akan tinggal diam.”
Tak ada yang menahannya saat ia melangkah keluar. Reno dan Puspita menyusul di belakang. Langkah mereka senyap, tapi berat. Malam ini telah memberi mereka pesan yang jelas:
Ini bukan sekadar perburuan.
Ini permulaan.
Dan Kenanga… akan membalas.
***
Langit malam terhampar kelam di atas kompleks peristirahatan dinas perwira tinggi Kepolisian Republik. Lampu jalan redup, seolah tahu ada kejahatan yang lebih baik tidak disaksikan.
Angin bergerak pelan di antara pepohonan, membawa aroma tanah basah dan kabut tipis yang menggantung di udara.
Di dalam rumah dinas itu, Ambar terbangun dari tidurnya—tapi ini bukan terbangun biasa. Di dalam pikirannya yang limbung, di antara kesadaran dan mimpi yang terpecah-pecah, ia terlempar kembali ke malam yang ingin dikuburnya dalam-dalam.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.