Krisis Lahan Kuburan di Tengah Maraknya Bisnis Pemakaman Elit

Avatar photo

JAKARTA – Jakarta menghadapi krisis lahan pemakaman yang semakin serius. Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta, Fajar Sauri, menyebutkan saat ini tersisa sekitar 118.348 petak makam di seluruh wilayah ibu kota. Dengan rata-rata 100 jenazah per hari, kapasitas tersebut diperkirakan hanya cukup untuk tiga tahun ke depan jika tidak ada langkah strategis yang diambil.

Dari total 80 Tempat Pemakaman Umum (TPU), sebanyak 69 sudah penuh, sehingga banyak TPU kini hanya melayani makam tumpang keluarga, di mana satu liang digunakan untuk beberapa anggota keluarga. Sistem ini sah secara hukum dan fiqih bagi umat Islam, namun tetap menunjukkan keterbatasan lahan yang kian kritis, dan tidak serta merta biasanya makam tumpang dilakukan dengan jeda 2-3 tahun dan hanya untuk dua nama satu makam.

Kasus serupa juga terjadi di Depok dan Bekasi, menunjukkan bahwa masalah pemakaman bukan hanya isu Jakarta saja, melainkan fenomena perkotaan yang harus segera diantisipasi.

Fenomena krisis ini diperparah oleh maraknya bisnis pemakaman elit yang dikelola pihak swasta. Harga tanah untuk pemakaman elit bisa mencapai Rp 15–35 juta per meter, dengan fasilitas yang bisa dikustomisasi mulai dari marmer hingga rumput. Beberapa lokasi terkenal seperti San Diego Hills di Karawang dan Baqi Memorial Park di Bogor Timur kini menjadi pilihan kalangan berkecukupan, sementara warga biasa semakin sulit mendapatkan makam dengan harga terjangkau.

Komisi D DPRD DKI Jakarta menegaskan bahwa penambahan lahan pemakaman tidak bisa ditunda. Ketua Komisi D, Yuke Yurike, menyatakan bahwa tanpa cadangan lahan, masalah serius akan muncul dalam beberapa tahun ke depan. Pemerintah Provinsi tengah mengkaji berbagai opsi, mulai dari pemakaman bertingkat hingga pembangunan TPU di wilayah pinggir kota yang masih tersedia. Dalam RAPBD 2026, anggaran telah dialokasikan untuk pembelian lahan RTH dan pemakaman, baik untuk memperluas TPU lama maupun membuka lahan baru. Namun, pembangunan TPU baru memerlukan proses panjang mulai dari pematangan lahan, pembangunan akses jalan, hingga izin lingkungan.

Menariknya, penolakan lahan tidak selalu datang dari warga, tetapi juga dari pengembang properti. Misalnya di TPU Susukan, Ciracas, Jakarta Timur, lahan pelebaran sudah dibebaskan tetapi proyek sempat tertunda karena perumahan di sekitar menolak.

Mantan Ketua RT setempat, Agus, menilai hal ini terjadi karena kawasan elit tidak ingin pemandangan dari rumahnya menghadap kuburan.

“Saat itu, kami harus melawan demi kepentingan warga,dan kini lahan sudah bisa diapakai,” ujarnya.

Tajuk Rencana Redaksi

Krisis lahan pemakaman di Jakarta tidak bisa dianggap sepele. Di tengah maraknya bisnis pemakaman elit yang memonopoli lahan strategis, pemerintah harus bergerak cepat dengan strategi berlapis, yaitu memperluas TPU yang ada, membuka lahan baru termasuk pemakaman bertingkat di wilayah pinggir kota, mengoptimalkan makam tumpang keluarga, serta mengintegrasikan konsep hijau dengan satu makam satu pohon yang sekaligus menambah Ruang Terbuka Hijau dan memperbaiki kualitas udara.

Pemerintah harus memastikan solusi pemakaman bersifat adil, berkelanjutan, dan terjangkau, sehingga seluruh warga Jakarta, dari semua lapisan masyarakat, dapat memperoleh hak yang sama untuk pemakaman layak. Penanganan yang tepat akan menjadi indikator keberhasilan kota dalam mengelola lahan terbatas sekaligus menyeimbangkan kepentingan publik dan pelestarian lingkungan.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *