Jakarta – Rencana perubahan status PAM Jaya menjadi perseroan daerah (perseroda) menuai sorotan dari kalangan internal DPRD DKI Jakarta. Seorang sumber internal yang enggan disebutkan namanya menilai pembahasan Perda tentang hal ini terlalu terburu-buru dan berpotensi menimbulkan risiko besar bagi pemerintah daerah maupun masyarakat.
“Kalau jadi perseroda, dia bisa bikin anak perusahaan sendiri, ekspansi bisnis tanpa campur tangan pemerintah daerah. Dividen dan tarif bisa diatur sendiri. Padahal ini menyangkut kepentingan rakyat,” ujar sumber tersebut kepada wartawan, Jumat (5/9/2025).
Sumber itu menegaskan, persoalan utama PAM Jaya saat ini bukanlah status hukum, melainkan cakupan layanan air bersih yang masih jauh dari target. “Sekarang cakupan airnya saja masih banyak bolong. Di Jakarta Barat, misalnya, malam hari air keluarnya kecil, siang kadang tidak keluar sama sekali. Itu dulu yang dibenahi, baru bicara perseroda,” tegasnya.
Ia juga menyoroti potensi hilangnya aset daerah jika PAM Jaya berubah menjadi perseroda. “Lahan dan jaringan pipa bisa lepas. Pemerintah bisa rugi. Belum lagi kalau nanti sahamnya tidak 100 persen milik Pemprov DKI, jangan-jangan malah terbagi dengan swasta,” jelasnya.
Selain itu, muncul kekhawatiran jika PAM Jaya membuat anak perusahaan yang tidak memberikan dividen ke pemerintah daerah. “Buat apa bikin anak perusahaan, kalau justru tidak ada manfaatnya bagi Pemda dan rakyat? Bisa jadi malah jadi ladang bisnis kelompok tertentu,” katanya.
Menurutnya, DPRD dan Pemprov DKI harus berhati-hati dalam membahas perubahan status PAM Jaya. “Bicara air itu bicara hak dasar rakyat. Jangan sampai buru-buru. Pasal demi pasalnya harus jelas. Kalau dipaksakan, bisa menimbulkan kecurigaan ada kepentingan lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, tuntutan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa pekan lalu yang meminta transparansi BUMD seharusnya jadi perhatian serius. “PAM Jaya perlu transparan dulu dalam hal manajemen, rekrutmen, hingga pengelolaan aset. Jangan justru melompat ke Initial Public Offering (IPO) atau perseroda,” tuturnya.
Sumber internal itu juga menyinggung soal transparansi gaji dan fasilitas direksi BUMD yang selama ini kurang mendapat perhatian publik. “Salah satu tuntutan demo adalah transparansi manajemen BUMD. Publik harus tahu, gaji direktur utama BUMD bisa mencapai kisaran Rp200 juta, bahkan lebih tinggi dari anggota DPRD DKI,” ungkapnya.
“Kalau sudah jadi perseroda, mereka bisa mengatur bisnisnya sendiri, membentuk anak perusahaan sebanyak-banyaknya, lalu merekrut direksi anak perusahaan yang bisa saja dari lingkar keluarganya,” tambahnya.
Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terkecoh dengan hanya menyoroti DPRD. “Yang jelas-jelas memainkan anggaran seenaknya justru eksekutif, salah satunya lewat BUMD. Belum lagi, direktur utama BUMD bisa membeli fasilitas untuk dirinya kapan saja, contohnya mobil operasional. Jadi jangan sampai isu ini hanya diputar balik, seolah DPRD yang jadi kambing hitam,” pungkasnya.
Sementara itu Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Francine Widjojo, menegaskan wacana mengubah status Perumda PAM Jaya menjadi Perseroda untuk kemudian melakukan penawaran saham perdana atau IPO sama saja dengan privatisasi BUMD sektor vital, yang dilarang oleh aturan.
“Privatisasi dilarang untuk BUMD yang diberikan tugas khusus mengurusi kepentingan umum, seperti penyediaan air minum,” kata Francine.
Menurutnya, perubahan status menjadi perseroda berpotensi menggeser mandat utama PAM Jaya dari pelayanan publik menjadi mencari keuntungan. PSI merujuk PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD yang melarang privatisasi bagi badan usaha yang mengelola kepentingan umum.
Francine juga menyoroti dampak langsung ke masyarakat, terutama soal tarif air. Ia mengingatkan masalah kenaikan tarif awal 2024 yang dinilai cacat hukum dan masih banyak dikeluhkan warga, khususnya penghuni apartemen yang dikenakan tarif komersial hingga naik 71,3 persen.
“Masalah itu saja belum selesai. Kalau jadi perseroda, naskah akademik jelas menyebut PAM Jaya akan punya fleksibilitas menetapkan tarif komersial. Ini membuka peluang kenaikan tarif lebih besar,” ujarnya.
PSI juga mengkritik Pemprov DKI karena hingga kini belum menetapkan tarif batas atas dan bawah PAM Jaya sesuai aturan. Francine menegaskan, perubahan bentuk hukum PAM Jaya bukan sekadar administratif, melainkan jalan menuju privatisasi yang melanggar ketentuan hukum.
“Kami meminta rencana ini dicabut. Pemprov sebaiknya memperkuat kinerja PAM Jaya sebagai Perumda, dengan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan investasi infrastruktur, tanpa mengorbankan kepentingan publik,” pungkasnya.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.









