JAKARTA — Lembaga kajian ekonomi INDEF menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun terakhir yang berada di kisaran 5,04 persen per tahun belum cukup memberikan dampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto, menyebut stabilitas angka tersebut belum mencerminkan perbaikan daya beli maupun kualitas lapangan kerja.
“Pertumbuhan 5 persen tidak otomatis menunjukkan ekonomi yang sehat jika tidak dibarengi peningkatan kesejahteraan nyata di masyarakat,” kata Eko dalam keterangannya, Jumat (12/12/2025).
Ia menilai kebijakan stimulus yang tidak tepat sasaran hanya menghasilkan efek sementara tanpa perubahan struktural yang kuat.
Di balik angka pertumbuhan yang stabil, terdapat beberapa indikasi perlambatan. Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh sekitar 4,89–4,94 persen—lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Selain itu, deflasi berkepanjangan sejak Mei hingga September 2024 dan berlanjut di awal 2025 membuat pelaku usaha dan masyarakat menahan belanja karena mengantisipasi harga semakin turun. “Ini memicu spiral negatif dalam permintaan,” ujarnya.
Investasi asing langsung (FDI) juga turun 8,87 persen pada triwulan III 2025. Menurut INDEF, penurunan ini mencerminkan meningkatnya keraguan investor terhadap kepastian regulasi, perpajakan, dan ketersediaan infrastruktur pendukung. Meski begitu, Eko mengapresiasi upaya pemerintah dalam menjaga inflasi tetap terkendali di level 2,86 persen.
Tantangan utama yang disoroti adalah daya beli masyarakat yang masih lemah, padahal konsumsi domestik menyumbang lebih dari separuh total pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah perlu meningkatkan penghasilan tidak kena pajak, menjaga stabilitas harga pangan, dan memperkuat program yang langsung menyentuh kebutuhan dasar warga,” ucapnya.
INDEF juga menilai penguatan sektor pertanian dan UMKM sangat mendesak, mengingat keduanya menopang perekonomian rumah tangga di berbagai daerah. Pengelolaan koperasi desa dan akses pembiayaan menjadi faktor penting untuk meningkatkan produktivitas sektor tersebut.
Dari sisi pembiayaan, Eko menyebut pertumbuhan kredit perbankan yang baru sekitar 8 persen masih jauh dari kebutuhan dasar untuk mengejar target pertumbuhan 5,4 persen pada 2026. “Kredit harus dipacu ke level 12–15 persen untuk mendukung ekspansi ekonomi,” katanya.
Secara keseluruhan, INDEF merumuskan tujuh langkah percepatan, mulai dari penguatan daya beli riil, percepatan kredit, penciptaan lapangan kerja, belanja pemerintah yang produktif, hilirisasi berkelanjutan, penyederhanaan regulasi, hingga optimalisasi program UMKM dan pertanian.
Eko menegaskan stagnasi pertumbuhan di level 5 persen selama lebih dari satu dekade menunjukkan perlunya perombakan arah pembangunan nasional. “Isunya bukan hanya angka pertumbuhan, tetapi bagaimana pertumbuhan itu menghadirkan keadilan sosial-ekonomi bagi seluruh rakyat.” terangnya.
Dengan strategi yang tepat dan pelaksanaan konsisten, INDEF percaya Indonesia dapat keluar dari “jebakan pertumbuhan 5 persen” dan menghadirkan manfaat yang lebih merata bagi masyarakat di seluruh wilayah negara.









