Cerita  

BERIKAN PADAKU!

Avatar photo

Hujan turun pelan-pelan, membasahi tanah merah di desa kecil tepi laut. Malam terasa begitu sunyi, seolah angin pun enggan berbisik. Di balik jendela rumah-rumah kayu yang berdiri tak beraturan, para ibu menggenggam bayi mereka erat, berharap malam berlalu tanpa kehilangan.

Pulau ini memiliki cerita. Bukan sekadar kisah yang diceritakan di api unggun, tapi sebuah peringatan. Di sini, tidak ada yang merayakan kelahiran dengan sorak-sorai. Sebaliknya, mereka berbisik, berdoa, dan menutup setiap celah jendela.

Sebab sejak bertahun-tahun, ada sesuatu yang datang setiap kali ada bayi yang baru lahir.

Wanita itu muncul tanpa suara. Wajahnya pucat, matanya kosong. Rambut panjangnya tergerai, basah seperti baru keluar dari laut. Pakaiannya putih, tetapi tidak bersih—ada noda, ada jejak yang tak ingin dilihat lebih lama.

Penduduk tidak pernah tahu dari mana ia datang, atau bagaimana ia tahu ada bayi yang baru saja menangis untuk pertama kalinya. Yang mereka tahu hanyalah bahwa ia tidak pernah gagal mengambil satu.

Malam itu, Rati menggigil. Bayinya baru lahir pagi tadi—anak pertama yang ditunggunya selama bertahun-tahun. Suaminya, Wirja, menutup setiap pintu dengan kayu besar, memastikan jendela terkunci rapat.

“Dia tidak akan masuk,” bisiknya, meyakinkan lebih dirinya sendiri daripada Rati.

Tetapi mereka tahu, pintu bukanlah penghalang bagi sesuatu yang tidak berjalan di dunia ini.

Angin berhenti.

Tidak ada suara jangkrik. Tidak ada ombak yang memecah batu karang.

Lalu… ada ketukan.

Pelan.

Di jendela kamar bayi.

Wirja bangkit, tubuhnya tegang. Rati menggenggam bayinya lebih erat.

Ketukan itu terdengar lagi, lebih panjang. Seolah jemari yang tak terlihat mengusap kayu rapuh.

Rati menahan napas.

Lalu, suara itu berubah menjadi bisikan.

Bukan suara manusia. Lebih dingin. Lebih tajam.

“Berikan padaku.”

Wirja menoleh ke arah Rati. Matanya penuh ketakutan.

Di luar jendela, sesuatu berdiri dalam gelap.

Menunggu.

***

Dulu, ia dikenal sebagai Sari.

Di tahun 1965, Pulau Kembara masih tenang, belum dikungkung oleh kisah-kisah gelap yang kini mengikutinya. Sari adalah perempuan setengah baya, tinggal di rumah kayu kecil di tepi pantai, tempat ombak datang dan pergi seakan berbisik kepadanya.

Ia menikah muda, berharap memiliki keluarga besar. Namun, setiap kali mengandung, harapan itu hancur. Sari selalu keguguran, satu demi satu. Dokter tak bisa menjelaskan sebabnya, hanya menyebutnya sebagai “kutukan tubuhnya sendiri”.

Tetapi Sari tidak percaya itu hanya urusan medis.

Setiap malam setelah kehilangan bayinya, ia mendengar sesuatu di angin. Suara-suara kecil, samar, seperti tangisan yang terputus. Seperti bayi yang memanggilnya dari tempat yang tak bisa ia jangkau.

Saat akhirnya ia melahirkan seorang bayi yang cukup bulan, ia berharap tak perlu mendengar suara-suara itu lagi.

Namun bayi itu lahir dalam keadaan tak bernyawa.

Tubuh kecil yang dingin dalam pelukannya, bibir biru yang tak pernah menangis, mata yang tak pernah terbuka.

Sari tidak menerima kenyataan itu. Ia tidak menguburkan bayinya seperti yang disarankan orang-orang. Malam-malam berlalu, dan ia tetap memeluk tubuh kecil itu, membisikkan doa, berharap bayi itu akan membuka mata dan kembali padanya.

Tetapi harapan itu tidak pernah terkabul.

Suatu malam, hujan turun deras. Sari berjalan ke tepi pantai, menggendong bayinya yang sudah lama membusuk di pelukannya. Ia duduk di atas pasir basah, memandang laut yang bergolak di hadapannya.

“Aku tidak akan membiarkan siapapun kehilangan lagi.”

Itulah kata-kata terakhirnya sebelum ia melangkah ke dalam gelombang—hilang ditelan laut.

Namun, sejak malam itu, bayi-bayi yang baru lahir di Pulau Kembara mulai menghilang tanpa jejak.

Penduduk berbisik tentang Sari. Tentang wanita berpakaian putih dengan wajah pucat dan rambut panjang yang basah, yang berdiri di luar jendela setiap kali ada kelahiran baru.

Tidak ada yang tahu di mana ia kini berada. Tidak ada yang tahu apakah ia benar-benar mati.

Yang mereka tahu, jika seorang bayi lahir di Pulau Kembara, sesuatu akan datang mengetuk.

Dan suara angin pun berubah menjadi bisikan:

“Berikan padaku.”

***

Malam itu gelap, lebih gelap dari biasanya. Angin dingin menyelinap melalui celah-celah jendela, membawa bisikan yang tidak manusiawi. Di dalam rumah kayu kecil di tepi pantai, Maya menggenggam bayinya yang baru lahir, tubuhnya gemetar.

Suaminya, Arman, berdiri di sudut ruangan, matanya terus memandang pintu. Ia telah menutupnya dengan kayu besar, memastikan tidak ada celah. Tapi mereka tahu, pintu bukanlah penghalang bagi sesuatu yang tidak berjalan di dunia ini.

Di luar, suara angin berubah menjadi ketukan. Pelan.

Maya menahan napas. Bayinya mulai menangis, suara kecil yang memecah keheningan.

Ketukan itu terdengar lagi, lebih panjang. Seolah jemari yang tak terlihat mengusap kayu rapuh.

Arman mengambil parang, tangannya gemetar. “Dia tidak akan masuk,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada Maya.

Lalu, suara itu berubah menjadi bisikan.

“Berikan padaku.”

Maya memeluk bayinya lebih erat, air mata mengalir di wajahnya. “Tidak… tidak…”

Arman melangkah ke pintu, tubuhnya tegang. “Pergi!” teriaknya, suaranya pecah.

Tapi bisikan itu tidak berhenti.

“Berikan padaku.”

Dari jendela, sesuatu muncul. Wajah pucat, rambut panjang yang basah, mata kosong yang menatap langsung ke arah Maya. Wanita itu berdiri diam, pakaiannya putih, tetapi tidak bersih—ada noda, ada jejak yang tak ingin dilihat lebih lama.

Maya menjerit. Arman berlari ke arahnya, tetapi sebelum ia bisa mendekat, wanita itu sudah ada di dalam ruangan. Tidak ada suara langkah, tidak ada pintu yang terbuka. Ia hanya… muncul.

Bayangan tubuhnya bergerak seperti kabut, mendekati Maya.

“Berikan padaku.”

Arman mengayunkan parang, tetapi wanita itu tidak terpengaruh. Parang itu hanya melewati tubuhnya, seperti menebas udara.

Wanita itu mengulurkan tangan, jemarinya panjang, dingin, seperti tulang yang tidak lagi hidup. Bayi Maya berhenti menangis, tubuhnya kaku.

Maya berteriak, memeluk bayinya lebih erat. “Tidak! Jangan ambil dia!”

Tapi wanita itu tersenyum. Senyum yang tidak membawa kebahagiaan, hanya kehampaan.

Dalam sekejap, bayi itu hilang dari pelukan Maya. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Hanya hilang.

Wanita itu berdiri di sana, memegang bayi yang kini diam, matanya tertutup. Ia memandang Maya, lalu berbisik:

“Dia milikku.”

Kemudian, ia menghilang.

Maya jatuh ke lantai, tubuhnya gemetar, air mata mengalir tanpa henti. Arman berdiri diam, parang di tangannya jatuh ke tanah.

Di luar, angin kembali berhembus pelan, membawa suara yang tidak bisa mereka lupakan:

“Berikan padaku.”

***

Malam Jumat itu, langit gelap tanpa bintang. Angin dingin menyapu desa kecil di Pulau Kembara, membawa bisikan yang membuat bulu kuduk meremang. Warga berkumpul di tepi makam tua, wajah mereka penuh ketakutan dan harapan.

Di tengah kerumunan, Tuan Haji Mufti berdiri tegak. Jubah putihnya berkibar pelan, tangannya menggenggam Al-Qur’an dengan erat. Ia adalah satu-satunya harapan mereka untuk mengakhiri teror yang telah merenggut bayi-bayi mereka selama bertahun-tahun.

Makam Sari tampak seperti lubang hitam di tengah tanah merah. Batu nisan yang retak, lumut yang tumbuh liar, dan bau tanah basah yang menusuk hidung. Di sana, sesuatu bergerak. Bayangan samar, seperti kabut yang berputar pelan.

“Dia ada di sini,” bisik Tuan Haji Mufti, suaranya tenang namun penuh kewaspadaan.

Warga mundur, tubuh mereka gemetar. Maya, yang kehilangan bayinya seminggu lalu, menangis terisak di belakang kerumunan.

Tuan Haji Mufti melangkah maju, membuka Al-Qur’an, dan mulai membaca ayat-ayat suci. Suaranya mengisi udara, menggema di antara pepohonan yang diam.

“Al-Baqarah, ayat 255,” ucapnya pelan, lalu melantunkan:

“Allahu laa ilaaha illa huwa al-hayyul qayyum…”

Kabut di atas makam mulai bergerak lebih cepat, membentuk sosok wanita. Rambut panjang yang basah, wajah pucat, mata kosong. Itu Sari.

Ia menatap Tuan Haji Mufti dengan kebencian yang membara. Suara angin berubah menjadi jeritan, melengking, memecah keheningan malam.

“Berhenti!” teriak Sari, suaranya serak, penuh amarah. Tapi Tuan Haji Mufti tidak berhenti. Ia melanjutkan bacaan, suaranya semakin kuat, semakin tegas.

Sari mulai gemetar. Tubuhnya yang kabur menjadi lebih jelas, tetapi juga lebih rapuh. Ia mencoba melangkah maju, tetapi setiap langkahnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menariknya kembali ke tanah.

“Aku hanya ingin anakku!” jeritnya, air mata mengalir di wajahnya yang pucat.

Tuan Haji Mufti berhenti sejenak, menatapnya dengan penuh belas kasih. “Kembalilah ke tempatmu, Sari. Dunia ini bukan lagi milikmu.”

Ia melanjutkan bacaan, kali ini lebih cepat, lebih kuat. Ayat-ayat suci itu seperti pedang yang memotong kabut, menghancurkan bayangan Sari sedikit demi sedikit.

Sari berteriak, tubuhnya mulai pecah menjadi serpihan kabut. Jeritannya berubah menjadi tangisan, lalu menjadi bisikan yang semakin pelan.

“Aku hanya ingin anakku…”

Dan akhirnya, ia menghilang.

Kabut di atas makam lenyap, digantikan oleh udara yang lebih ringan, lebih bersih. Warga terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.

Tuan Haji Mufti menutup Al-Qur’an, wajahnya penuh kelelahan tetapi juga kepuasan. “Dia telah kembali ke tempatnya. Tidak akan ada lagi yang hilang.”

Maya jatuh berlutut, menangis. Warga mulai berdoa, mengucap syukur atas akhir dari teror yang telah menghantui mereka selama bertahun-tahun.

Malam itu, Pulau Kembara kembali tenang. Tetapi cerita tentang Sari akan terus hidup, sebagai peringatan bagi mereka yang mencoba melawan batas antara dunia ini dan dunia yang lain.

TAMAT

DISCLAIMER: Cerita ini fiksi. Nama, tempat, dan peristiwa hanyalah imajinasi. Jika ada kesamaan, itu kebetulan belaka.

*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *