JAKARTA – Konsep pembangunan kota di Indonesia kini memasuki babak baru. Di tengah ancaman krisis iklim dan urbanisasi yang kian meluas, arah kebijakan pembangunan mulai bergeser menuju paradigma low carbon economy menempatkan efisiensi energi, tata ruang berkelanjutan, dan energi terbarukan sebagai fondasi masa depan.
Salah satu pendekatan yang banyak diadopsi adalah Transit Oriented Development (TOD) dan green building. Model TOD menekankan keterpaduan antara hunian, perkantoran, serta fasilitas publik di sekitar simpul transportasi massal seperti MRT, LRT, dan BRT. Selain menekan emisi karbon, konsep ini menciptakan mobilitas efisien dan membuka pusat-pusat ekonomi baru di perkotaan. Kota seperti Tokyo dan Singapura telah membuktikan bahwa integrasi transportasi dan tata ruang mampu melahirkan ekosistem ekonomi yang produktif sekaligus ramah lingkungan.
Sementara itu, penerapan green building menjadi tonggak penting dalam upaya menuju kota rendah karbon. Contoh inspiratif datang dari Meksiko melalui proyek Via Verde, yang mengubah ratusan tiang jalan tol menjadi taman vertikal. Di Indonesia, langkah serupa mulai tampak nyata. Mal Grand Indonesia kini resmi memiliki instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terbesar di Jakarta. Proyek ini tidak hanya simbolis, tetapi juga ditujukan untuk memberi dampak nyata bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi.
“Investasi energi bersih seperti PLTS merupakan langkah konkret menuju efisiensi biaya jangka panjang sekaligus pengurangan emisi karbon di tengah kota besar,” ujar Mustafa Alayoubi, Director of Commercial Grand Indonesia, saat peresmian proyek tersebut baru-baru ini.
Dari sisi kelembagaan, Green Building Council Indonesia (GBC Indonesia) menegaskan komitmennya terhadap transisi rendah karbon nasional melalui kegiatan Sosialisasi GREENSHIP Award 2025. Program ini menjadi momentum awal memperkuat kolaborasi lintas sektor, mengapresiasi inovasi bangunan hijau, dan mempercepat transformasi industri konstruksi menuju standar keberlanjutan yang lebih tinggi. GBCI berharap semakin banyak pengembang dan institusi menerapkan prinsip ramah lingkungan dalam skala besar.
Selain efisiensi bangunan, sektor transportasi juga tengah berbenah. Pemerintah memperluas penggunaan kendaraan listrik yang diklaim mampu “membirukan langit Jakarta”. Langkah ini bukan sekadar simbol perubahan gaya hidup, tetapi bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi karbon melalui elektrifikasi transportasi massal dan pribadi.
Seluruh upaya ini sejalan dengan arah kebijakan dalam Enhanced Second Nationally Determined Contribution (SNDC) — dokumen komitmen iklim terbaru Indonesia. Berbeda dari pendekatan lama yang berbasis persentase, SNDC kini menargetkan jumlah absolut emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2035 dengan tahun acuan 2019. Target bersyarat Low Carbon Compatible with Paris (LCCP-H) menekankan pertumbuhan ekonomi tinggi hingga 8%, dengan emisi net 1.489 juta ton CO₂e dan gross 1.696 juta ton CO₂e pada 2035.
Meski ambisius, sejumlah pihak menilai SNDC masih sangat bergantung pada sektor kehutanan dan lahan (FOLU), yang artinya belum sepenuhnya mengarah atau mencakup penataan ruang kota besar berbasis konsep berkelanjutan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mengingatkan, tanpa kebijakan disruptif dan dukungan internasional, Indonesia berisiko gagal memenuhi target Paris Agreement.
“Dengan potensi 3.800 GW energi terbarukan dan biaya investasi yang terus menurun, pemanfaatan PLTS, PLTB, dan baterai dapat menghasilkan listrik lebih murah dan bersih,” ujar Fabby Tumiwa, CEO IESR, dikutip dari laman resminya.
Arah kebijakan sebenarnya telah ditegaskan oleh Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan 100% bauran energi terbarukan pada tahun 2035. Komitmen itu diwujudkan melalui peresmian 55 proyek energi bersih di 15 provinsi pada Juni 2025, penguatan Dana Ketahanan Energi senilai Rp402 triliun, serta percepatan kemitraan internasional dalam pengembangan energi surya dan panas bumi. Presiden menekankan bahwa transisi energi harus menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas, bukan sekadar pemenuhan target iklim.
Namun, tantangan tetap ada. Kota besar seperti Jakarta masih bergulat dengan persoalan klasik—genangan air yang muncul setiap kali hujan singkat mengguyur. Padahal, keberlanjutan sejati tak hanya berbicara soal energi, tetapi juga manajemen air, drainase, ruang hijau yang mampu menyerap limpasan, dan kemacetan yang belum tuntas diatasi.
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, menilai Jakarta perlu lebih memperhatikan tata ruang agar tercipta kenyamanan dan ketertiban, dibanding terus memprioritaskan proyek-proyek besar yang cenderung politis.
“Daripada memindahkan patung atau kampus IKJ ke Kota Tua, seharusnya pemerintah lebih fokus pada penataan permukiman kumuh, pembenahan tata kota, serta solusi konkret bagi banjir dan kemacetan,” ujarnya.
Nada serupa disampaikan oleh pengamat geopolitik Amir Hamzah, yang menilai istilah “kota global” bisa menjadi jebakan jika tidak dimaknai dengan hati-hati.
“Jakarta bisa saja terperangkap dalam globalisasi kemacetan, pengemis, dan ketimpangan. Frasa ‘global’ harus dimaknai sebagai kedaulatan kota, bukan sekadar reputasi. Tantangannya bukan pada dunia, tapi pada kemampuan kita menjawab tantangan kota global itu,” paparnya.
Meski penuh tantangan, arah pembangunan menuju kota berkelanjutan tetap memberi harapan. Percepatan pembangunan sebagai fondasi transformasi Jakarta menuju kota global telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2025–2029. Dokumen itu mendeskripsikan Jakarta sebagai kota yang maju, berdaya saing, dan berkelanjutan dalam 20 tahun ke depan—mimpi besar sekaligus komitmen menuju visi Indonesia Emas 2045.
Di sisi lain, pengamat perkotaan Nirwono Joga mendukung langkah Pemprov DKI Jakarta untuk memperluas ruang terbuka hijau (RTH).
Ia menyarankan pengembangan RTH mikro di kawasan padat penduduk. “Dengan keterbatasan lahan, sulit mewujudkan taman 250 meter persegi. Karena itu, konsep taman mikro minimal 50 meter persegi per kelurahan bisa menjadi solusi efektif untuk menambah ruang hijau,” ujarnya dalam Local Media Summit 2025 di Jakarta.
Dengan TOD, green building, kendaraan listrik, dan kebijakan SNDC yang diperkuat visi energi terbarukan nasional, Indonesia, khususnya kota besar seperti Jakarta tengah menapaki jalan menuju masa depan yang lebih bersih, berdaya saing, dan berkelanjutan.
Namun pertanyaannya, seberapa mampu kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya menerjemahkan visi besar SNDC yang digariskan Presiden ke dalam realitas kota yang setiap hujan saja masih tergenang, angin tiba pohon tumbang?”
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.









