Jakarta — Sejak akhir Agustus 2025, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di SPBU milik swasta seperti Shell, BP, dan Vivo semakin meresahkan masyarakat. Di berbagai kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, antrean kendaraan mengular di SPBU yang hanya menyediakan satu jenis BBM, sementara sebagian besar lainnya kosong. Kondisi ini memicu pertanyaan besar: apakah ada praktik monopoli yang sedang berlangsung?
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut kelangkaan ini sebagai dampak dari perubahan pola konsumsi masyarakat yang beralih dari BBM subsidi ke nonsubsidi. Namun, sejumlah ekonom dan pengamat kebijakan publik menilai penjelasan tersebut tidak cukup menjawab akar masalah.
Fahmy Radhi, ekonom dari Universitas Gadjah Mada, menilai bahwa pemerintah secara tidak langsung tengah mendorong monopoli dengan menunjuk Pertamina sebagai satu-satunya pintu impor BBM. “Ketika swasta tidak lagi bisa mengimpor secara mandiri dan harus membeli dari Pertamina, maka harga dan pasokan sepenuhnya dikendalikan oleh satu entitas,” ujarnya.
Kondisi ini diperparah dengan perubahan regulasi impor BBM yang kini hanya berlaku enam bulan dan harus dievaluasi setiap tiga bulan. SPBU swasta yang sebelumnya mengimpor dari Singapura kini diwajibkan beralih ke sumber lain, atau membeli langsung dari Pertamina. Akibatnya, banyak SPBU swasta yang memilih menahan ekspansi dan bahkan mempertimbangkan untuk menghentikan operasional.
Di lapangan, BBC News Indonesia menemukan SPBU Shell di Surabaya dan BP di Bandung yang sudah lebih dari tiga minggu tidak memiliki stok BBM sama sekali. Pegawai SPBU mengaku tidak tahu kapan pasokan akan kembali tersedia. Sementara itu, antrean kendaraan di SPBU yang masih memiliki stok BBM menjadi pemandangan harian yang mengganggu aktivitas warga.
Dugaan monopoli ini bukan kali pertama menghampiri Pertamina. Sebelumnya, anak usaha Pertamina, PT Patra Niaga, juga diselidiki oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) atas dugaan monopoli avtur dan LPG nonsubsidi. KPPU menilai bahwa penguasaan pasar di atas 50% oleh satu pelaku usaha berpotensi melanggar prinsip persaingan sehat.
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menyoroti dua hal penting: kualitas BBM dan distribusi. Ia menilai jika Pertamina menjadi satu-satunya pemasok, maka perusahaan harus menjamin kualitas dan kelancaran distribusi. “Jika tidak, kepercayaan publik akan terus menurun,” tegasnya.
Faisal juga mengingatkan bahwa monopoli berdampak buruk bagi konsumen. Tanpa persaingan, harga bisa naik tanpa kontrol, dan pelayanan cenderung stagnan. Di sisi lain, investor asing bisa kehilangan minat untuk menanamkan modal di sektor energi Indonesia.
Pertamina membantah tudingan monopoli dan menyatakan bahwa kuota impor BBM telah disesuaikan dengan permintaan masing-masing SPBU swasta. Namun, pernyataan ini belum cukup meredakan kekhawatiran publik, terutama di tengah kelangkaan yang terus berlangsung.
KPPU sendiri belum mengeluarkan kesimpulan resmi, namun menyatakan tengah menyelidiki lebih dalam. Mereka menekankan bahwa yang dilarang bukan monopoli itu sendiri, melainkan cara pelaksanaannya. Jika terbukti dilakukan secara tidak adil atau melanggar hukum, maka sanksi bisa dijatuhkan.
Situasi ini menjadi ujian besar bagi pemerintah dalam menjaga iklim persaingan usaha yang sehat dan melindungi hak konsumen. Jika tidak segera ditangani, kelangkaan BBM dan dugaan monopoli bisa menjadi preseden buruk bagi sektor energi nasional.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.









