JEJAK KENANGA 6: MUSLIHAT A[E]MPAT HASRAT
Di tengah kota yang seolah tak pernah tidur, malam itu terlalu sunyi untuk dianggap biasa. Hujan gerimis membasahi aspal, lampu jalan memantulkan cahaya muram di genangan air. Barata Wisesa berlari. Jaket hitamnya terayun, sepatu botnya memukul keras trotoar.
Di hadapannya, sosok bertopeng ungu gelap melesat laksana bayangan—penembak jitu yang menghabisi Winda Marlina beberapa menit lalu dari jarak nyaris mustahil. Bara tak berpikir. Ia hanya tahu satu hal: malam ini, ia tidak boleh kehilangan jejak lagi.
Mereka melintasi gang-gang sempit, melompati tumpukan sampah, dan melewati pagar besi yang berderit keras saat disentuh. Suara sirene jauh di belakang terdengar samar, tapi yang menghantui lebih dekat—napas Bara yang berpacu dengan detak dendam.
Si topeng ungu sempat menoleh. Matanya penuh perhitungan. Ia menarik pelatuk lagi—peluru melesat, menghantam dinding beton. Bara menunduk, melompat ke samping dan mengayun tongkat collapsible dari balik jaketnya. Dentuman logam dan bunyi desing saling menyambar.
Di atap sebuah bangunan tua, mereka bertemu. Tak ada tempat lari. Hanya bulan redup dan udara lembab yang menggantung di antara mereka. Si topeng ungu menyerang duluan—gerakannya cepat, tapi penuh kemarahan. Bara menghindar, membalas dengan siku ke perut, tapi lawannya menangkis dengan gerakan presisi seperti mantan prajurit.
Pukulan dan tendangan bertukar cepat. Jaket Bara robek di bagian bahu, topeng lawannya tergores pisau kecil yang ia sembunyikan di pergelangan. Mereka jatuh ke lantai atap, saling kunci. Hujan turun lebih deras.
Dan pada satu titik, Bara menemukan celah—tendangan lurus ke dada, menghantam keras hingga sosok bertopeng terpental ke tiang pemancar. Ia jatuh tersungkur, mengerang pendek. Bara segera menghampiri, lututnya menekan lengan lawan, tangan kirinya mencabut topeng perlahan.
Lalu—terdiam. Wajah di balik topeng itu menggetarkan nadinya.
“Ren…?” bisik Bara, suara tenggorokannya tercekat.
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan nama itu, mata pria bertopeng mendelik. Tubuhnya kejang seperti kabel tersengat. Dari sela giginya, keluar busa putih tipis—dan sesuatu membakar di balik lidahnya. Bara kaget, berusaha menahan tubuh itu, tapi sudah terlambat.
Hening.
Tubuh itu tak bergerak. Nafasnya hilang. Dan yang tertinggal hanyalah wajah muda yang seharusnya tak ia temukan di sana. Wajah yang—entah bagaimana—terhubung dengan nama masa lalu yang terus mengusik mimpi buruknya.
Dalam hujan yang makin lebat, Bara menatap langit malam.
Misi telah berubah.
Dan semuanya… baru saja dimulai.
*
Angin malam menggigit tulang, meski tak seekor burung pun terdengar berkicau di langit Waisai. Di punggung bukit karst yang menjulang miring di atas pemukiman pesisir, seorang pria duduk bersila, menunduk diam. Jaket gelapnya basah oleh embun. Di pangkuannya, senapan panjang terbungkus kain hitam.
Ia diam, karena begitulah cara ia mematikan dunia.
Namanya Reno Ambua. Lahir dari pasangan yang tak sempat selesai mencintai. Ibunya orang Aceh, lari dari konflik, menikah dengan pria Papua yang menjauh dari tambang, tapi tak sempat pergi dari trauma. Reno tumbuh tanpa suara.
Terlalu sering melihat mayat, terlalu muda untuk tahu makna dendam. Ketika tubuh ayahnya ditemukan di dasar sungai Uria, ibunya hanya menatap lekat air yang mengalir. “Kau tak perlu tangisi siapa pun. Dunia ini tak pernah minta maaf.”
Tujuh belas tahun kemudian, Reno jadi legenda tanpa nama di lingkar hitam Jakarta. Dan kini, ia kembali ke timur—bukan sebagai anak nelayan, tapi eksekutor Bagaspati. Kontrak hari ini sederhana: awasi pemindahan bahan peledak dari kapal logistik rahasia, pastikan tidak ada dokumentasi warga, dan habisi siapapun yang merekam.
Tangannya membuka tas kecil. Di dalamnya ada foto empat pulau—Pulau Sawa, Kamungsi, Leram, dan Ubur. Wilayah ini secara administratif masih masuk Papua Barat, tapi kini jadi rebutan diam-diam oleh konsorsium investasi lintas provinsi. Satu memo dari Bagaspati hanya berbunyi:
Empat pulau, empat celah. Jaga senyap, atau pulau itu tak akan kembali milik siapa-siapa.
Reno menyalakan pengintai termal. Lima titik panas terdeteksi di perahu kayu kecil yang diam-diam mendekat ke dermaga barat. Wajahnya datar, seperti batu. Tapi saat jari telunjuknya menyentuh pelatuk… sesuatu bergerak dalam pikirannya.
Layar pengintai menyala merah. Reno segera membidik. Sekali tembakan. Kapal kecil itu goyah. Seorang pria jatuh ke laut. Dua lainnya berlari ke semak belukar, tapi senapan sunyi Reno tak pernah memberi ruang lari.
DOR. DOR. Hening.
Senyap kembali menyelimuti Raja Ampat.
Reno berdiri. Membungkus senapan. Ia menarik napas panjang, menatap langit yang merah karena lampu industri pelabuhan yang perlahan muncul di timur. Di balik debur ombak, ia tahu, Pulau Kamungsi sudah diberi kode lelang oleh negara, meski warganya belum tahu tanah mereka akan jadi jalan tol laut.
Ponselnya bergetar. Pesan masuk dari kontak yang ia beri nama “#Orion”: “Misi selesai. Kembali ke Jakarta. Siapkan tahap Empat Hasrat.”
Namun sebelum ia menutup pesan, sebuah bayangan lain datang di pikirannya. Wajah Kenanga. Suara perempuan muda yang pernah bilang:
“Kalau dunia ini penuh tipu daya, siapa yang kita lawan pertama: pembohongnya, atau diri kita sendiri?”
Reno menoleh ke lautan gelap. Tapi kali ini, matanya tak setenang biasanya. Di lubuk hatinya, sebutir batu kecil mulai bergetar.
Dan ia tahu: musim diamnya akan segera berakhir.
**
Langit utara masih pekat, meskipun jam digital dalam saku Reno telah menunjuk pukul 03.24. Ia belum beranjak sejak senja. Duduk diam di atas lantai kayu rumah apung yang mulai dimakan garam, tubuhnya bergeming, hanya sesekali bergeser kecil saat angin memukul kaca jendela dengan lembap asin.
Leram tak seperti pulau lainnya. Tak ada mercusuar, tak ada pelabuhan nelayan. Pulau ini hanya disebut dalam peta militer dan kontrak tambang laut dalam yang belum diumumkan. Tapi bagi Reno, tempat ini punya nama lain: “titik sunyi.”
Ia meletakkan senapan yang telah dilap di sisinya, menyulut sebatang rokok tanpa suara. Api kecil dari korek kayu memantulkan siluet wajah yang mulai menua sebelum waktunya. Garis-garis keras di matanya bukan hasil usia, tapi bekas bidikan dan kehilangan. Rokok itu ia hisap perlahan, nyaris ragu, seperti sedang mencicipi ulang kematian yang ia tanam sendiri di pelabuhan Waisai, kurang dari 36 jam yang lalu.
Samar-samar, sebuah suara melintas.
“Leram bukan tempat pelarian, Ren. Ini tempat pengakuan.”
Ia menoleh, tapi tak ada siapa-siapa. Itu bukan suara manusia. Itu ingatan. Dan dari ingatan, berhamburanlah bayangan: suara Kenanga di lorong Stasiun Senen, aroma laut Banda tahun 2009, dan wajah seorang perempuan kecil yang selalu membawa kelereng di kantong bajunya.
Laila.
Ia datang lagi.
Dulu, Laila pernah bilang, “Kalau kau tembak semua yang menyimpan rahasia, kau akan kehabisan peluru sebelum tahu siapa kau sendiri.” Ucapan itu ditertawakan Reno, waktu mereka masih saling pura-pura tak takut pada dunia.
Kini kalimat itu terdengar seperti kutukan.
Reno membuka saku dalam jaket dan mengeluarkan foto lama—lusuh, robek di sudut kanan, dan nyaris pudar warnanya. Foto itu menunjukkan empat anak berdiri di depan papan nama: SD Negeri Tanjung Bendera.
Salah satunya adalah dirinya sendiri, yang masih polos dengan rambut acak dan luka di lutut. Di sampingnya, Laila tertawa. Di belakang mereka berdiri seorang pria dewasa: Ayah Reno. Di hari itu, mereka tak tahu bahwa satu tembakan dari hutan akan menghapus seluruh desa.
Reno menekuk foto itu perlahan dan menatap keluar jendela. Leram diselimuti kabut tipis. Di kejauhan, terdengar suara mesin kapal nelayan yang terlalu dini memulai hari. Tapi telinga Reno menangkap sesuatu yang lain: bunyi langkah, getaran getar di jembatan kayu yang menuju rumah apung itu.
Ia menarik napas, meraba gagang senjata. Tapi tak ada alarm di pikirannya. Bukan ancaman. Bukan intrusi. Ini hanya respons otomatis dari seorang pria yang sudah terlalu sering diburu dan terlalu jarang ditanya apakah ia pernah dicari.
Saat pintu diketuk pelan, Reno tidak menyahut.
Hanya setelah dua ketukan ketiga, suara lelaki tua datang dari balik tirai plastik:
“Reno… ini aku. Ustaz Latif.”
Ia membuka pintu. Wajah tua itu muncul dengan senyum kecil dan sebuah termos kopi.
“Kau pikir pulau sekecil ini bisa sembunyi dari doa?” kata Latif sambil duduk tanpa diundang. “Kau datang bukan karena kabur. Kau datang karena mulai bertanya.”
Reno tidak menjawab. Tapi sorot matanya tak lagi setegas semalam. Ia menatap laut. Di ujung gelombang, sebuah pulau kecil nyaris tenggelam karena pasang. Pulau itu diberi nama oleh para pelaut tua sebagai Pulau Tanpa Jejak. Karena setiap kali dikunjungi, bentuk pulaunya berubah.
Seperti hidupnya.
“Aku bunuh orang semalam,” kata Reno, pelan.
“Bukan yang pertama,” jawab Latif. “Tapi mungkin pertama kalinya kau mau menyebutnya ‘orang’, bukan ‘target’.”
Hening. Lama.
Reno akhirnya berdiri, mengambil ponsel, dan mulai mengetik sesuatu ke nomor terenkripsi yang hanya dikenal segelintir orang.
“#Orion. Aku butuh penundaan 48 jam. Ada jejak tambahan di Leram yang harus aku bersihkan.”
Tapi ia tahu, yang perlu dibersihkan bukan pulau. Bukan catatan. Tapi dirinya sendiri.
***
Malam itu Jakarta bukan ibukota, tapi panggung. Lampu-lampu jalan berpendar seperti sorot opera yang salah arah. Di lantai 15 sebuah gedung tua di Cikini, Reno Ambua menyiapkan senapan khusus dengan keheningan yang hanya dikenal mereka yang telah terlalu sering membunuh untuk alasan yang tak lagi jelas.
Jam di tangannya menunjukkan 22.43. Angin malam membawa bau hujan yang tertahan di timur. Satu pesan masuk ke ponsel satelit miliknya, muncul tanpa notifikasi, langsung mengunci layar:
Instruksi Eksekusi: Target: Winda Marlina Lokasi: Apartemen Arka, lantai 21, unit 2104 Jarak: 684 meter Kode operasi: S303B – Validasi atas dokumen K.L.T. Validasi: Kosongkan ruang. Musnahkan saksi. Perintah: Bagaspati
Reno menatap layar ponsel cukup lama. Lalu menghela napas, seperti seseorang yang baru saja membaca ulang puisi yang buruk dari masa lalu. Ia tak bertanya. Ia tak pernah bertanya. Tapi malam ini… rasanya lain.
Di monitor pengintai, ia melihat jendela unit 2104 menyala. Dalamnya samar, tapi bayang-bayang dua orang bisa terlihat. Salah satunya: perempuan dengan rambut diikat tinggi, postur sigap. Winda.
Satunya lagi… laki-laki. Tubuh tegap. Reno menyipitkan mata, perlahan memutar arah lensa dan menangkap wajah yang dikenalnya. Ia terdiam.
Bara.
Reno tidak pernah menyukai perasaan mengingat. Tapi wajah Bara memaksanya membuka lembar yang ia kubur: rekan bayangan saat operasi di Yangon, penembus data TNI-AU saat proyek nuklir palsu, dan satu-satunya yang pernah bilang padanya: “Kau bukan mesin, Ren. Kau hanya terlalu sering dipaksa mematikan detak.”
Kini, mereka ada di dalam satu bidikan.
Dan Reno… di ujung pelatuknya.
Di dalam apartemen lantai 21, ketegangan tebal tak kalah dari dinding kaca yang memantulkan cahaya kota.
Bara berdiri di hadapan Winda, wajahnya serius. Di meja, sebuah koper hitam terbuka setengah, kunci digitalnya menyala merah.
“Buka. Sekarang.” > “Itu bisa membunuh lebih dari sepuluh karir militer, Bara. Termasuk saya.” > “Saya tak peduli. Di dalamnya ada draf referendum empat pulau. Termasuk pemindahan administrasi dan strategi pengosongan wilayah sipil. Ini bukan soal karir, ini soal republik.”
Winda memejamkan mata. Pelipisnya berkeringat.
“Aku tak bisa membukanya tanpa kode sandi ganda. Yang satu lagi… ada di tangan Bagaspati.”
Bara melangkah maju, lebih dekat. Sorot matanya menusuk.
“Kau tahu, bukan hanya rakyat yang akan digusur. Ini bukan sekadar tambang. Ini skenario pecah-belah satu wilayah—dan tidak ada referendum tanpa peluru. Kau tahu itu, Winda.”
Dan saat suara terakhir itu jatuh… Reno menutup satu mata.
Jari telunjuknya menyentuh pelatuk.
Di monitor, Winda menggoyangkan koper—seolah menyerah. Satu detik kemudian, Bara mulai mendekat untuk membaca label pada dokumen yang muncul. Reno menarik napas.
Namun, sebelum ia menekan pelatuk, satu suara dalam pikirannya datang tanpa diundang:
“Kalau kau tembak semua yang menyimpan rahasia, kau akan kehabisan peluru sebelum tahu siapa kau sendiri…”
Laila.
Bayangan itu menyelinap seperti asap. Reno mendadak goyah. Tangannya ragu. Dan di saat keraguan itu menggantung di udara—
DOORRR!!!
Satu tembakan lain meledak dari gedung seberang.
Kaca unit 2104 pecah berhamburan.
Winda tersentak. Tubuhnya menegang, darah memercik dari bahu kirinya. Bukan kepala. Bukan jantung. Tapi luka itu cukup untuk menjatuhkannya ke belakang.
Bara tersentak. Ia langsung menunduk, menarik tubuh Winda ke bawah meja, matanya menajam.
“Penembak luar!” > “Dua arah. Setidaknya dua tim.” Winda menggertakkan gigi.
Reno menatap kacanya. Ia tak menembak. Tapi tembakan telah terjadi. Ia bukan satu-satunya mata di kegelapan.
Ponselnya bergetar.
Nomor tersembunyi.
Ia angkat.
“Reno.” Suara Bagaspati. Dingin. Tegas. > “Ada peluru lain di udara,” jawab Reno. > “Karena kau lambat.” > “Karena aku berpikir.” > “Kau tidak dibayar untuk berpikir.”
Klik.
Sambungan terputus.
Dan Reno tahu malam ini bukan hanya tentang eksekusi. Ini tentang pemisahan. Tentang siapa yang masih manusia… dan siapa yang telah jadi alat.
Di monitor, Bara mengangkat koper dan memutus sambungan kamera. Gambar hilang. Reno menatap layar kosong. Hatinya berdetak tak seperti biasanya. Kali ini, ada denyut yang tak ia kenali.
Denyut yang nyaris… hidup.
****
Langit Jakarta malam itu seperti sehelai kain muram yang menggantung tanpa janji terang. Di lantai 16 sebuah gedung tua di bilangan Menteng, satu tubuh terbaring dengan ketenangan yang mencurigakan. Reno Ambua. Tak ada luka terbuka.
Tak ada darah. Tapi wajahnya mulai membiru, dan di ujung bibirnya… setetes cairan ungu mengering perlahan. Racun, jenis yang hanya dipakai oleh tiga negara dan satu organisasi dalam bayangan: Cyano-Altine. Reaksinya lambat, mematikan, dan meninggalkan kematian yang tampak seperti tidur.
Bara berdiri membisu. Di tangannya, ponsel Reno terbuka, menampilkan kalimat terakhir yang tak pernah sempat terkirim:
“Bukan dia musuhnya. Aku… aku sudah terlalu dalam. Tapi kebenarannya ada di koper itu. Selamatkan dia. Dan… maafkan aku.”
Langkah kaki berlari memecah kesunyian malam.
Kenanga.
Tubuhnya menerobos pintu atap seperti badai yang sudah menunggu terlalu lama. Matanya menangkap Reno. Tubuhnya. Diam. Dingin.
“RENO!” jeritnya.
Ia menghampiri, jatuh berlutut, mengguncang tubuh itu—mencari denyut, mencari sisa napas, mencari alasan untuk tidak mempercayai apa yang sudah nyata. Tapi tak ada. Reno telah memilih jalan keluar yang paling sunyi dari semua kejahatan: ia membunuh dirinya sendiri demi membungkam racun dalam sistem kekuasaan yang membusuk.
“APA KAU LAKUKAN?!”
Kenanga berdiri, berbalik, dan melihat Bara.
“KAU DI SINI, KAU DI SAMPINGNYA, DAN KAU MEMBIARKANNYA MATI!”
Tinju pertama menghantam pipi Bara. Disusul tendangan lurus ke perut. Bara menahan, mundur. Tidak melawan. Ia tahu ini bukan pertarungan. Ini pelampiasan hati yang retak.
“Kau biarkan dia mati sendiri! Kau biarkan dia MENELAN RACUN ITU!”
Tinju kedua mendarat. Pisau lipat muncul di tangan Kenanga. Diayunkan. Hampir mengenai leher. Tapi Bara bergeser, merunduk, memutar posisi. Ia terus menghindar.
“Kenanga—”
“Diam! Tak ada yang bisa kau katakan sekarang! Kau seharusnya menyelamatkannya!”
Dia menyerang lagi. Pisau itu mengenai bahu kanan Bara, luka terbuka. Tapi Bara tak bergeming. Ia jatuh, namun tetap menatapnya lurus.
“Aku tak bisa menghentikannya.” Suaranya retak. “Dia memilih racunnya. Karena dia tahu… kalau dia bicara, kita semua akan diburu. Ini… satu-satunya cara dia mengirimkan pesan.”
Kenanga terdiam. Tubuhnya gemetar. Pisau tergenggam, tapi tak bergerak.
Bara perlahan mendekat. Suaranya tak lebih keras dari bisikan:
“Lihat lengan kanannya.”
Kenanga menatap bingung.
“Kalau kau masih mengira aku pembunuhnya—kau harus lihat ini. Dan putuskan sendiri siapa sebenarnya Reno.”
Dengan tangan gemetar, Kenanga menarik lengan jaket Reno. Pelan. Sampai terlihat tato itu.
Satu mata. Ukiran hitam, seolah menatap balik. Mata yang sama yang pernah ia lihat di malam ayahnya dibunuh.
Tubuh Kenanga membeku. Matanya membesar.
“Tidak…” bisiknya. “Tidak mungkin… dia salah satunya…”
Ia mundur. Mulutnya terbuka tanpa suara.
“Dulu iya,” ujar Bara. “Tapi dia keluar. Ia kabur dari mereka. Dan malam ini, ia bayar semua dosa yang bukan sepenuhnya miliknya.”
Kenanga jatuh terduduk. Punggungnya bersandar pada dinding beton. Pisau jatuh dari tangan. Air matanya jatuh, tapi tidak sendu. Lebih seperti luka yang tak menemukan tempat untuk sembuh.
“Dia… yang selamatkan ibu dari serangan di rumah sakit?” suaranya nyaris tenggelam.
Bara hanya mengangguk.
“Dia yang bocorkan struktur operasi Lima Lelaki Bertopeng. Dia yang beri aku akses ke rekaman Satya Negara. Dia yang—”
“Cukup…” Kenanga menutup telinganya. “Cukup.”
Sunyi. Hanya detak jantung mereka yang terdengar di antara desiran malam.
Akhirnya, Kenanga berdiri, memandangi Reno untuk terakhir kali.
“Aku mencintainya,” katanya pelan. “Tapi aku tak pernah tahu siapa dia sebenarnya.”
“Sekarang,” jawab Bara, sambil merobek lengan dalam jas Reno dan mengambil chip transparan mungil, “kau akan tahu untuk siapa dia mati.”
*****
Ruang bawah tanah gedung tua milik yayasan pensiunan guru di Matraman itu terasa sesak oleh sunyi. Satu lampu gantung bergetar pelan, cahayanya memantul pada dinding berjamur dan rak-rak tua penuh dokumen tak bertuan. Di tengah ruangan, empat orang duduk melingkar di depan satu terminal komputer lawas yang masih menggunakan layar CRT.
Puspita, Kinan, Bara, dan Kenanga.
Di tangan Puspita, chip transparan berukuran kuku jari itu seperti artefak prasejarah—rapuh, nyaris tak berarti di mata orang biasa. Tapi mereka semua tahu, di dalamnya… bisa ada serpihan kebenaran yang cukup untuk meruntuhkan seluruh fondasi kekuasaan.
“Ada empat lapis enkripsi,” gumam Puspita, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard modifikasi dengan jalur bypass mandiri. “Satu pakai pola QLOCK-E yang biasa dipakai agen luar negeri. Dua lagi RSA tapi dengan struktur sekuensial. Yang terakhir…”
Ia berhenti sejenak, alisnya menegang.
“Yang terakhir bukan sekadar sandi digital. Ini… semacam kode narasi. Kayak protokol berbasis cerita—story-triggered access.”
Kinan menoleh cepat. “Kau bisa lewati?”
Puspita menarik napas. “Kalau aku pakai skrip generatif berbasis logika naratif… mungkin.”
Bara hanya mengangguk. Di tangannya, selembar kertas dengan tulisan Reno yang pudar mulai terasa berat. Di baris terakhir tertulis: “Kebenaran yang kubayar dengan racun, tak akan kubiarkan tenggelam bersama tubuhku.”
Puspita memasukkan skrip terakhir. Layar menyala. Dan pelan-pelan, seperti tirai yang tersingkap di panggung rahasia, satu demi satu file mulai terbuka.
Folder pertama: “Operasi GAGAK PUTIH”
Klik.
Video hitam putih muncul. Rekaman rapat. Lima orang berseragam tanpa logo duduk mengelilingi satu meja bundar. Di tengahnya, peta digital memuat pulau-pulau kecil tak bernama. Terdapat lingkaran merah pada empat titik: Pulau Nusa Pandan, Pulau Lera, Pulau Karita, dan Pulau Berempa.
Suara salah satu pria terdengar jelas: > “Empat titik ini harus kosong pada 2026. Kita butuh jalur logistik laut dalam, basecamp satelit, dan cadangan energi kritis. Kalau warga tak mau pindah… kita bikin ada alasan.”
Kinan menegang. “Itu… pulau-pulau konservasi laut.”
Folder kedua: “Skenario Pengosongan dan Referendum Wilayah Khusus Timur” Dokumen PDF tebal. Di dalamnya terdapat strategi lengkap: pemalsuan data kependudukan, penghilangan arsip tanah adat, rekayasa konflik vertikal antara suku, dan terakhir: propaganda hak referendum. Semua disusun rapi. Satu nama muncul sebagai inisiator dokumen:
“Tim Redaksi Khusus K.L.T. – Koordinator: KP”
“KP itu… Kurnia Praja,” bisik Kenanga.
Puspita membuka folder ketiga: “Transaksi dan Distribusi Keuntungan”
Layar penuh angka. Grafik transfer. Nama-nama rekening luar negeri. Di bawah setiap kolom: kode alfanumerik, tanda centang, dan jumlah yang menggila.
“Ini…” suara Bara tercekat. “Ini lebih dari ratusan miliar. Ada angka tiga belas triliun di sini.”
Kenanga mencengkeram sandaran kursi. Matanya tak berkedip.
“Ada notulensi,” ujar Puspita. “Pertemuan 12 Januari, diselenggarakan di ‘Resort Cakrawala Selatan’. Hadir: perwakilan tujuh partai politik, dua pejabat istana, satu komisaris utama BUMN, dan—”
Ia berhenti.
Bara mendekat. “Siapa?”
Puspita menatap layar. Suaranya nyaris bergetar:
“—dan perwakilan pribadi dari Wapres S.”
Sunyi panjang.
Kinan memukul meja. “Kita duduk di atas ranjau.”
Kenanga perlahan berdiri, berjalan ke sisi ruangan, menatap tembok basah. Ia menggenggam chip kosong itu.
“Reno mati untuk ini,” suaranya pelan, tapi tegas.
Bara menatap Kenanga dari balik bahunya. “Dan kita hidup karena ia percaya satu dari kita bakal teruskan.”
Kinan berdiri, merapikan file dalam flash drive.
Puspita menutup folder terakhir. “Semuanya terekam, semua terkunci dalam kode etik militer yang mereka langgar sendiri.”
“Dan satu nama yang muncul di setiap transaksi, setiap koordinasi, sebagai perantara sekaligus penyusun jaringan…”
Puspita menyerahkan satu dokumen terakhir ke Kenanga.
> “Kurniapraja, dengan inisial Proksi-U, berfungsi sebagai pengumpul, penyalur, dan pemutus jejak transaksi. Tanpa dia, jaringan akan gagal.”
Kenanga mengangguk. Matanya tak menyala karena marah. Tapi karena api yang lebih dalam—keyakinan.
“Kita tahu sekarang… siapa yang menyuap, siapa yang diam, siapa yang memperdagangkan laut dan nyawa warganya.”
Ia menoleh ke mereka semua.
“Dan saat kita buka ini ke publik, mereka akan mengira kita gila. Atau ingin mati.”
“Lalu?” tanya Kinan.
Kenanga tersenyum kecil.
“Kita pastikan sebelum mereka membungkam kita, rakyat sudah lebih dulu mendengar.”
Malam itu, empat orang keluar dari ruang tua, membawa satu chip, satu kebenaran, dan satu janji baru: Bila negara diselundupkan dari balik senyum kuasa, maka yang akan mengembalikannya… bukan partai. Tapi mereka yang sudah kehilangan cukup banyak untuk berhenti takut.
******
Langit malam Jakarta tertutup jaring awan kelabu. Hujan belum turun, tapi udara membawa tanda: ketegangan yang belum pecah. Di pusat kota, sebuah bangunan kaca menjulang tanpa nama di puncaknya. Bukan kantor, bukan hotel, bukan markas militer—tapi berlapis keistimewaan hukum yang membuatnya kebal dari audit dan tanya.
Di lantai 47 bangunan itu, terdapat satu ruangan—megah, steril, dan senyap. Pencahayaan dibuat lembut, tapi dingin. Lantai marmer hitam mengilat memantulkan bayangan tubuh-tubuh yang berdiri di tengahnya. Di ujung meja perundingan berbentuk oval, duduk seorang pria muda, usia sekitar 34 tahun, mengenakan setelan abu-abu arang dengan emblem kecil tersemat di dada—tak ada nama, hanya simbol segitiga tak simetris berwarna emas.
Wajahnya tegang. Matanya menyala. Suaranya—tajam, jelas, dan tanpa celah kompromi.
“Ambil chip itu. Segera. Saya tidak peduli caranya. Jika mereka harus dihabisi… maka habisi.” Nadanya datar. Tak meledak. Tapi justru karena itulah, ruangan terasa seperti diambang dentuman.
Di hadapannya berdiri dua lelaki: Bagaspati, dengan raut tebal, rambut mulai memutih tapi sorotnya masih tajam, dan Kurnia Praja—tenang, berjas rapi, satu map hitam di tangan, wajahnya menyimpan terlalu banyak yang tak diucapkan.
“Yang Mulia,” ucap Bagaspati pelan, “chip itu dijaga ketat. Kami tidak tahu apakah sudah diduplikasi…”
“Aku tidak tanya status duplikasi,” potong pria muda itu. “Aku tanya kenapa sampai sekarang isinya belum dibungkam.”
Kurnia menunduk. Tangannya menyelipkan map hitam ke meja.
“Nota pengaktifan operasi telah disiapkan,” ujarnya tenang. “Ada satu nama di dalam. Kita butuh tanda tangan Panglima Wilayah untuk menggerakkan pasukan internal. Dalam bentuk tertutup.”
Pria muda itu berdiri.
Ia mengambil pena, lalu selembar kecil kertas dari saku jas dalamnya. Diserahkan langsung ke tangan Kurnia.
“Serahkan ini ke Jenderal Suwanda sebelum subuh. Dan pastikan… unit Vektor-27 bergerak malam ini.”
“Vektor-27?” bisik Bagaspati.
Pria itu menoleh. Tak tersenyum.
“Kalau Bara dan Kenanga berhasil membuka semua file… maka satu-satunya yang bisa membuat rakyat lupa… adalah ketakutan.”
Ia memutar tubuh, berjalan menuju jendela kaca yang memandang ke arah Monas. Tangan kirinya menggenggam sebuah liontin kecil dari logam, dengan ukiran halus bertuliskan satu kata dalam aksara kuno: Ruwa Jurai.
Suara lembut tapi dingin keluar dari bibirnya.
“Negara ini dibangun dengan narasi. Dan narasi yang tak bisa dikendalikan… akan dibakar.”
CUT TO BLACK.
Satu menit kemudian…
Di ruang bawah tanah markas Komisi Keamanan Siber Negara, layar utama menampilkan gambar wajah Kenanga. Tanda merah berkedip di sudut kanan layar:
STATUS: PRIORITAS MUSNAH
Suara mekanis terdengar, mengunci layar:
“Otorisasi penuh diberikan. Target Kenanga. Target Bara. Eksekusi diizinkan.”
Dan di koridor gelap yang menyambung ke hanggar kendaraan taktis, sepuluh pasukan senyap mulai bergerak. Tak satu pun berseragam. Tak satu pun bernama.
Satu dari mereka membawa senjata pendek dengan ukiran mata di gagangnya.
*******
Malam telah bicara. Kini giliran kebenaran bersuara.
Chip itu bukan sekadar alat bukti—ia adalah bom waktu. Di tangan Kenanga dan Bara, ledakan kebenaran menunggu panggungnya. Tapi lawan mereka bukan lagi bayangan—melainkan negara yang menyamar jadi cermin. Sementara satu nama, disimpan Winda di detik-detik akhir hidupnya, kini menghantui.
Dan dalam keheningan istana tanpa lencana, seorang pria muda sudah melempar dadu terakhir: kerahkan pasukan, bakar sejarah, bunuh mereka yang ingat.
Siapkah Kenanga kehilangan segalanya demi menyelamatkan satu kebenaran? Siapkah Bara melawan negeri yang pernah ia bela? Dan siapkah kita… menyaksikan negara berdiri di ambang perang terhadap dirinya sendiri?
JEJAK KENANGA 7 – Saat Sebuah Bangsa Menyembunyikan Jasadnya Sendiri Tak semua pengkhianat memakai topeng. Tapi semua yang memegang topeng… pernah melihat wajah kita.
Segera. Bersiaplah.
*Cerita ini fiksi. Nama, tempat, dan peristiwa hanyalah imajinasi. Jika ada kesamaan, itu kebetulan belaka.
*Naskah ini disusun berdasarkan berbagai sumber terpercaya dengan pengolahan redaksional oleh tim Indonewsia.id. Untuk informasi selengkapnya, silakan merujuk pada tautan sumber berita yang disertakan.